يآ أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب رحيم وهذا من أحسن القياس التمثيلي فانه شبه تمزيق عرض الأخ بتمزيق لحمه ولما كان المغتاب يمزق عرض أخيه في غيبته كان بمنزلة من يقطع لحمه في حال غيبة روحه عنه بالموت لما كان المغتاب عاجزا عن دفعه بنفسه بكونه غائبا عن ذمه كان بمنزلة الميت الذي يقطع لحمه ولا يستطيع أن يدفع عن نفسه ولما كان مقتضى الأخوة التراحم والتواصل والتناصر فعلق عليها المغتاب ضد مقتضاها من الذم والعيب والطعن كان ذلك نظير تقطيعه لحم أخيه والأخوة تقتضي حفظه وصيانته والذب عنه ولما كان المغتاب متفكها بغيبته وذمه متحليا بذلك شبه بأكل لحم أخيه بعد تقطيعه ولما كان المغتاب محبا لذلك معجبا به شبه بمن يحب أكل لحم أخيه ميتا ومحبته لذلك قدر زائد على مجرد أكله كما أن أكله قدر زائد على تمزيقه فتأمل هذا التشبيه والتمثيل وحسن موقعه ومطابقة المعقول فيه للمحسوس وتأمل أخباره عنهم بكراهة أكل لحم الأخ ميتا ووصفهم بذلك في آخر الآية والإنكار عليهم في أولها أن يجب
مثل أعمال الكفار أحدهم ذلك فكما أن هذا مكروه في طباعهم فكيف يحبون ما هو مثله ونظيره فاحتج عليهم بما كرهوه على ما أحبوه وشبه لهم ما يحبونه بما هو أكره شيء إليهم وهم أشد شيء نفرة عنه فلهذا يوجب العقل والفطرة والحكمة أن يكونوا اشد شيء نفرة عما هو نظيره ومشبهه وبالله التوفيق
فصل ومنها قوله تعالى مثل الذين كفروا بربهم أعمالهم كرماد اشتدت به الريح في يوم عاصف لا يقدرون مما كسبوا على شيء ذلك هو الضلال البعيد فشبه تعالى أعمال الكفار في بطلانها وعدم الانتفاع بها برماد مرت عليه ريح شديدة في يوم عاصف فشبه سبحانه أعمالهم في حبوطها وذهابها باطلا كالهباء المنثور لكونها على غير أساس من الإيمان والإحسان وكونها لغير الله عز وجل على غير أمره برماد طيرته الريح العاصف فلا يقدر صاحبه على شيء منه وقت شدة حاجته إليه فلذلك لا يقدرون مما كسبوا على شيء لا يقدرون يوم القيامة مما كسبوا من أعمالهم على شيء فلا يرون لها أثرا من ثواب ولا فائدة نافعة فإن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان خالصا لوجهه موافقا لشرعه والأعمال أربعة فواحد مقبول وثلاثة مردودة فالمقبول الخالص الصواب فالخالص أن يكون لله لا لغير والصواب أن يكون مما شرعه على لسان رسوله والثلاثة المردودة ما خالف ذلك
وفي تشبيهها بالرماد سر بديع وذلك للتشابه الذي بين أعمالهم وبين الرماد في إحراق النار وإذهابها لأصل هذا وهذا فكانت الأعمال التي لغير الله عز وجل وعلى غير مراده طعمة للنار وبها تسعر النار على أصحابها وينشئ الله لهم من أعمالهم الباطلة نارا وعذابا كما ينشئ لأهل الأعمال الموافقة لأمره
Wednesday, May 30, 2007
Wednesday, May 9, 2007
Mengabdi dan Terus Berusaha Menjadi Orang yang Benar
Allah menekankan dalam ayat-ayat Al-Qur`an bahwa akhlaq Ilahiyah harus diaplikasikan ke dalam setiap bagian hidup seorang mukmin sejati. Seseorang harus hidup sebagai orang mukmin, berbicara dan berpikir sebagai seorang muslim. Sejak saat ia membuka matanya di pagi hari hingga saat ia tidur di malam hari. Ia harus berusaha menuju kesucian, berniat untuk selalu berlaku ikhlas dan jujur kepada Allah, dan selalu menggunakan kesadaran dan kemauannya dengan sebaik-baiknya hingga akhir nanti.
Sebagian orang berusaha untuk membatasi agama pada ritual-ritual tertentu. Mereka yakin bahwa kehidupan spiritual mereka harus dipisahkan dari kehidupan dunia. Entah bagaimana, mereka melihat ide tersebut logis dan masuk akal. Mereka mengingat Allah dan hari akhir hanya saat mereka melakukan shalat, puasa, bersedekah, atau ketika melakukan haji. Di lain waktu, mereka terbawa pada kerumitan urusan dunia. Mereka melupakan Allah dan balasan yang akan diterimanya di hari pembalasan. Mereka tidak peduli pada usaha untuk menggapai ridha Allah dan gagal berjuang hingga akhirnya.
Mereka tidak menyadari bahwa mereka juga diharapkan untuk berpikir agamis pada saat berjalan, makan, bekerja di kantor, berolah raga, berbicara dengan orang lain, melakukan transaksi, menonton televisi, berbicara tentang politik, mendengarkan musik, dan sebagainya. Saat mereka mengira bahwa hal-hal tersebut hanyalah masalah duniawi, mereka cenderung percaya bahwa rencana-rencana mereka pun seharusnya bersifat keduniawian. Akan tetapi, seseorang dapat menyempurnakan akhlaq sesuai dengan Al-Qur`an dan mendapat keikhlasan saat berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas. Ia dapat menunjukkan perhatian dalam tugas-tugasnya dan penuh perhatian saat berbicara dengan orang lain, makan, berolah raga, bersekolah, bekerja, tengah membersihkan sesuatu, menonton TV, atau mendengarkan musik. Ia harus berusaha mendapatkan berkah Allah saat melakukan semua aktivitas tersebut.
Semua tingkah laku yang menjadikan Allah ridha dijelaskan secara rinci dalam banyak ayat Al-Qur`an. Banyak rincian tentang bagaimana berbuat adil dalam jual beli, tidak mengambil harta yang tidak halal, memberikan takaran dan timbangan yang tepat, dan sebagainya, telah dijelaskan di dalam Al-Qur`an. Ketika seseorang hidup dengan rasa takut kepada Allah dan melakukan perbuatan sesuai dengan ayat-ayat tersebut, ia melakukan jual beli untuk memenuhi keridhaan dan keikhlasan kepada Allah. Demikian pula, menahan diri dari perkataan kotor, tidak tinggal diam ketika orang lain menghina Al-Qur`an, dan berbicara dengan jujur dan bijaksana, semua itu adalah bagian dari akhlaq agung yang disebutkan di dalam Al-Qur`an. Karena itulah, seharusnya tidak ada seorang pun yang salah mengartikan bahwa agama hanyalah terdiri atas ritual-ritual agama dan bahwa keikhlasan hanya bisa didapatkan dengan melakukan ritual-ritual tersebut. Karena rumitnya kehidupan duniawi kita, manusia bertanggung jawab untuk terlibat dalam berbagai hal. Yang penting adalah bahwa seseorang harus selalu menempatkan Allah di dalam hatinya. Ia harus mencari keridhaan Allah di dalam setiap perbuatannya, tidak mengorbankan ajaran moral Al-Qur`an, serta menjaga kesuciannya.
Pandai Menguasai Diri, Ikhlas, dan Dapat Dipercaya
Seseorang yang secara konsisten berbuat ikhlas akan terlihat bersifat baik dan bersungguh-sungguh. Mereka yang hanya ingin mendapatkan keridhaan Allah dan tidak mencari balasan duniawi, tidak akan pernah menjadi orang yang palsu, penuh tipu daya, tidak ikhlas, dan tidak wajar. Ia bersikap baik, demikian pula perbuatan dan ucapannya. Hal ini karena ia tidak akan berusaha memengaruhi orang lain atau terlalu ambisius. Ia akan cepat disukai dan membuat orang lain merasa nyaman dengannya. Karena ia hanya ingin mendapatkan keridhaan Allah, ia menyadari sepenuhnya bahwa sifat-sifat menipu yang dilakukan untuk mendapatkan pengaruh pada orang lain akan merusak ketulusan hatinya. Ia akan merasa nyaman dan damai karena mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya teman baik dan satu-satunya pelindung.
Seseorang yang dengan teguh menjaga kesucian dan ketulusannya, berharap agar Allah akan menerima setiap perbuatannya sebagai orang yang saleh dan membalasnya dengan imbalan yang berlimpah, baik di dunia maupun di akhirat.
Tipu Daya Setan untuk Menghancurkan Keikhlasan Orang-Orang yang Beriman
Hingga hari pembalasan, setan telah berjanji untuk menyesatkan manusia, untuk mengajak mereka ke dalam barisannya. Sebagaimana dinyatakan Allah, “Setan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi.” (al-Mujaadalah [58]: 19) Setan telah berhasil membujuk mereka yang menafikan keberadaan Allah. Ia telah menjebak manusia dari segala sisi, membuat mereka lupa kepada Allah, dan memperoleh penghambaan yang mutlak dari mereka. Karena itulah, orang-orang ini masuk ke dalam barisan setan, sebagai makhluk yang mengajak orang lain kepada keingkaran, dosa, dan kejahatan.
Bagi mereka yang dengan ikhlas percaya kepada Allah, tentu saja berbeda halnya. Setan dapat langsung memengaruhi mereka yang menafikan Allah. Akan tetapi, terhadap mukmin sejati yang dengan teguh meyakini Allah, setan gagal memengaruhi mereka. Sebagai contoh, setan dengan cara apa pun tidak dapat mencegah mereka dari berjuang di jalan Allah. Ia tidak dapat mencegah mereka untuk mengamalkan perintah agama mereka, melaksanakan shalat, melakukan kebaikan dan berlaku jujur, menyebut nama Allah, dan mengorbankan diri mereka untuk berjuang dengan harta dan jiwa.
Menyadari hal itu, setan terpaksa mencari tipu daya yang lebih sulit untuk memengaruhi para mukmin sejati. Karena ia tidak dapat secara langsung menghalangi amal baik yang dilakukan karena Allah, ia berusaha mencampuradukkan kejahatan dalam niat baik mereka saat melakukan suatu perbuatan. Ini dilakukan untuk mengalihkan pandangan mereka selain kepada keridhaan Allah dan untuk mencegah mereka berpaling kepada Allah dengan tulus ikhlas, dengan cara menyerang keikhlasan mereka. Di dalam Al-Qur`an, tujuan setan hingga detik ini ditegaskan dengan kata-katanya sendiri. Ayat yang berhubungan dengan perkataan setan disebutkan sebagai berikut.
“Dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.’ Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (an-Nisaa` [4]: 119-120)
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (al-A’raaf [7]: 16-17)
Sebagaimana ditunjukkan di dalam ayat tersebut, setan berusaha mengendalikan mereka dengan “membawa kepada kesesatan dan memenuhi mereka dengan harapan-harapan palsu”, dengan “menyerang mereka di jalan Allah yang lurus”, dan dengan “mendatangi mereka dari depan, belakang, dari kanan dan kiri mereka”.
Ia menggunakan tipuan agar manusia melihat kebenaran sebagai kesalahan, kebaikan sebagai kejahatan, yang bagus sebagai kejelekan, dan kejahatan sebagai kebaikan. Ia berusaha mencegah manusia dari perbuatan baik karena Allah dengan menanamkan keraguan dan keinginan yang sia-sia di dalam hati mereka. Setan berusaha keras memikat orang-orang beriman untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akhlaq Al-Qur`an dengan memperindah dan menghiasinya agar terlihat lebih menarik.
Barisan Setan
Bila perlu, setan bergantung pada pertolongan mereka yang menjadi temannya dan menafikan Allah untuk mencapai tujuan yang disebutkan di atas. Ia menggunakan mulut mereka untuk berbicara dan perkataan mereka untuk mengungkapkan rencana-rencananya. Ini merupakan taktik yang lihai untuk menguasai orang-orang beriman.
Tentu saja setan tidak dengan terang-terang mengajak mereka untuk menafikan Allah dengan berbisik, “Jangan mengikuti Al-Qur`an, jangan memenuhi ridha Allah, patuhilah aku.” Sebaliknya, ia mencoba menipu mereka dengan tipu muslihat, kelicikan, dan kebohongan. Ia berusaha mencegah mereka untuk berbuat ikhlas dan menanamkan berbagai macam keinginan dan nafsu di dalam hati mereka, dan membuat mereka lebih mencari pujian daripada mencari keridhaan Allah.
Misalnya saja, ia berusaha untuk menyisipkan keinginan untuk mendapatkan kerelaan manusia dalam niat seorang mukmin yang berusaha untuk melakukan perbuatan baik karena Allah. Setan mendorongnya untuk memuji kebaikan dirinya dan melambungkan egonya.
Dengan berbangga diri ketika melakukan perbuatan baik, ia terhalang untuk ikhlas dalam perbuatannya itu. Seharusnya, jika ia benar-benar memilih untuk melakukan suatu perbuatan yang mengorbankan dirinya, ia harus melakukannya untuk mendapatkan keridhaan Allah. Karena itulah, tidak perlu ia mengumumkan perbuatannya. Dengan cara apa pun, Allah melihat dan mendengarnya. Akan tetapi, setan menghadirkan keinginan itu dalam bentuk yang terlihat tidak salah, seperti alasan-alasan, “Mereka akan percaya dan lebih mencintaimu jika mereka tahu betapa berahklaq dan lurusnya dirimu dan betapa patuhnya engkau pada Al-Qur`an. Bagaimanapun juga, ini adalah keinginan yang benar-benar sah.” Tentu saja ini adalah keinginan yang sah-sah saja dan dijalankan sesuai dengan Al-Qur`an jika ia mencari pengakuan Allah dan meninggalkan apa yang dikatakan masyarakat serta berpaling kepada Allah. Jika ia berbuat sebaliknya, ia akan berisiko untuk dikuasai oleh kesalahan yang ditolak oleh Al-Qur`an. Sikap-sikap tersebut menjadikan ibadah terlihat dan membuat seseorang merasa berbangga diri. Semua sikap tersebut berseberangan dengan keikhlasan dan kesucian. Sifat-sifat yang hanya dibutuhkan saat melakukan ibadah untuk semata-mata mencari keridhaan Allah.
Kelicikan Setan
Rencana setan untuk mengancam keikhlasan orang-orang beriman yang akan terus ada hingga hari pembalasan, dimulai sejak masa Adam a.s.. Ia mendekati Adam a.s. dengan strategi yang licik dan menipu serta mencoba membuatnya melihat kebaikan sebagai kejelekan dan kejelekan terlihat baik. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an, setan berhasil membujuk Adam a.s. dan pasangannya untuk tidak mengindahkan larangan Allah. Jadi, setan membuat mereka dikeluarkan dari surga. Peristiwa ini dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur`an sebagai berikut.
“Dan Kami berfirman, ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.’” (al-Baqarah [2]: 35)
“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata, ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (Thaahaa [20]: 120)
“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata, ‘Tuhanmu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya, saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka, ‘Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu, ‘Sesungguhnya, setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’” (al-A’raaf [7]: 20-22)
Setan tidak secara terang-terangan mengatakan kepada Adam dan Hawa untuk menentang perintah Allah. Bila dilakukan terang-terangan, tak ada satu pun mukmin yang mengikutinya. Jadi, ia merencanakan alasan lain yang lebih persuasif. Setan mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan menjadi malaikat dan hidup abadi jika mereka memakan buah pohon terlarang itu. Agar kebohongannya lebih meyakinkan, ia bahkan berani bersumpah atas nama Allah. Al-Qur`an memperingatkan para mukmin sejati agar melawan kelicikan yang dilakukan oleh setan ini.
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari syurga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperhatikan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya, ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (al-A’raaf [7]: 27)
Mereka yang dibimbing oleh Al-Qur`an benar-benar dipersiapkan untuk melawan masalah-masalah yang tidak berdasar, keinginan yang semu, dan muslihat setan yang menipu. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thagut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah,” (an-Nisaa` [4]: 76) strategi yang dilancarkan setan sebenarnya lemah dan hanya terdiri atas tipuan yang palsu. Para mukmin sejati mamahami bahwa bisikan tersebut berasal dari setan. Mereka segera memohon perlindungan kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya, orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A’raaf [7]: 200-201)
Segera setelah mendapatkan perlindungan dari Allah, mereka dapat mengartikan peristiwa tersebut dengan cahaya Al-Qur`an. Mereka mendapatkan pemahaman yang menolong mereka untuk membedakan kebenaran dari kebatilan. Karena itulah, tuduhan setan yang sesat tergagalkan karena iman yang kuat dalam diri mukmin yang sejati.
Demikian pulalah, seperti yang digarisbawahi Al-Qur`an dalam ayat berikut, setan memainkan peranan kosong pada diri mukmin sejati yang meletakkan keyakinan dan iman mereka kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Pelindung mereka.
“Sesungguhnya, hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu sebagai penjaga.” (al-Israa` [17]: 65)
Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an, setan dapat memengaruhi mereka yang dikuasai olehnya dan mereka yang menjadikan hal lain sebagai tuhan selain Allah.
“Sesungguhnya, setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya.” (an-Nahl [16]: 99-100)
Dinyatakan bahwa setan tidak dapat memengaruhi hamba-hamba yang tulus dan suci,
“Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.’” (al-Hijr [15]: 39-40)
Karena alasan inilah, mukmin yang ikhlas dan benar tidak perlu takut menghadapi kelicikan dan tipu daya jebakan yang dibuat oleh setan, karena mereka tahu pasti bahwa setan tidak memiliki kekuatan atas mereka. Mereka hanya takut kepada Allah. Mereka yang takut kepada setan adalah mereka yang berteman dengannya dan terperosok ke dalam perangkapnya. Hal ini diungkapkan di dalam Al-Qur`an,
“Sesungguhnya, mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran [3]: 175)
Di dalam Al-Qur`an, Allah menyatakan bahwa setan akan meningkatkan usahanya untuk menanamkan keinginan-keinginan palsu dan penyimpangan di hati setiap manusia, termasuk hati para nabi. Ini adalah semacam cobaan yang diciptakan Allah untuk membedakan antara mereka yang memiliki penyakit di hatinya dan mereka yang beriman dengan tulus ikhlas. Mereka yang mendapatkan kesucian dan memiliki pengetahuan tidak dapat dipengaruhi oleh keinginan-keinginan palsu setan. Mereka benar-benar memahami bahwa setan tidak memiliki kekuatan sendiri. Ia sebenarnya diciptakan dan dikendalikan sepenuhnya oleh Allah. Setan tidaklah berkuasa untuk menyesatkan orang-orang beriman, menghalangi keikhlasan mereka, atau membawa mereka ke jalan yang sesat tanpa seizin Allah. Ketika setan berusaha untuk menempatkan keinginan-keinginan palsu di dalam hati mereka, seorang muslim percaya bahwa Al-Qu`an tidak diragukan lagi merupakan sebuah keberkahan yang nyata dari Allah sebagai penguat. Kebenaran ini ditunjukkan oleh ayat,
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (al-Hajj [22]: 52-54)
MENGENAL PERAWI SYIAH
Contoh kasus : Zurarah bin A’yun
Muhammad Abdurrahman
Riwayat yang datang dari para imam sangat banyak jumlahnya, maka kita memerlukan penelitian guna membedakan antara yang sahih dan cacat. Kita harus meneliti mana yang benar-benar perkataan para imam dan mana yang bukan. Mengapa tidak? Mereka juga berdusta atas nama Penghulu para imam, yaitu Muhammad saw, oleh karena itu maka berdusta atas nama para imam sangat mungkin terjadi.
Untuk itu disini kami paparkan salah satu gambaran perawi mereka yang paling terkenal dan masyhur, kita lihat sejauh mana kedudukan dan posisinya dikalangan syiah. Dia adalah Zurarah, siapa sebenarnya Zurarah ???
Dia adalah Zurarah ibn A’yun ibn Sansan, kunyahnya adalah Abul Hasan dan juga Abu Ali. Sanan adalah seorang budak orang Romawi, sebagaimana di kalatakan dalam Fahrasat karya ath Thusiy hal. 104.
Zurarah telah banyak meriwayatkan riwayat-riwayat yang jumlahnya mencapai 2094 sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Hadits juz. 8 hal 254. Oleh karena itu dia diberi gelar “Gudang Hadits Para Imam” sebagaimana disebutkan dalam Rijal Haulal Ahlul Bait juz 2 hal. 94.
Zurarah juga banyak dikuatkan oleh masyayikh kalangan syiah diantaranya adalah ath Thusiy, an Najasyi, Ibnu Mutohhar dan yang lainnya.
Akan tetapi hal yang aneh tersembunyi dibalik sosok Zurarah yang terkenal itu, Dia yang terkenal banyak meriwayatkan hadits, dikuatkan para ulama, riwayatnya banyak dijadikan sandaran ternyata telah di anggap lemah. Misalnya apa yang dikatakan Sufyan Atsauri dalam Lisanul Mizan (juz 2, hal 474) tentang Zurarah :” Dia tidak pernah bertemu Abu Ja’far”, dan ketika dikatakan kepadanya Zurarah meriwayatkan dari Ja’far, dia berkata :”Zurarah tidak pernah melihat Abu Ja’far dia hanya menulis ucapannya saja”.
Sebagian para ulama Syiah sekarang ini, seperti Musawi mengatakan dalam Muraja’at (hal. 313): ”Saya tidak mendapatkan satu atsar yang membicarakan tentang Zurarah ibn A’yun, Muhammad ibn Salim dan Mukmin Thoq dan yang semisalnya. Meskipun saya telah membolak-balik dan mengkajinya dengan teliti. Hal itu tidak lain hanyalah kebohongan dan kezaliman semata. Hal ini menunjukkan pembelaan terhadap Zurarah.
Saya berusaha untuk memiliki prasangka yang baik dengan mengatakan: ”Mungkin dia belum pernah menemukan riwayat itu walaupun telah mencari dengan susah payah Saya sendiri telah menemukan ada kurang lebih 36 hadits yang disebutkan oleh penulis Mu’jamu Rijal al hadits, dan sebagian dianggap lemah”.
Pada tempat yang lain dia juga mengemukakan alasan, dan sebagian lain hanya dikomentari dengan komentar yang sifatnya umum atau mengatakan bahwa Zuroroh berbuat/berkata seperti itu hanya untuk taqiyyah. Untuk itu saya bermaksud memaparkan sebagaian hadits/riwayat tersebut yang berasal dari imam yang mereka yakini memiliki sifat ma’shum. Kemudian akan saya beri catatan komentar dan saya persilahkan anda untuk memperhatikan dan mengambil kesimpulan sendiri. Semoga Allah memberikan taufiq, hidayah dan kebenaran kepada kita semua dan menyelamtkan dari hawa nafsu dan mengikuti syahwat .
RIWAYAT PERTAMA,
Kisyi meriwayatkan dari Zurarah bahwasanya dia berkata : ”Saya bertanya kepada Abu Abdillah r.a tentang tasyahud....saya berkata : ”Attahiyatwash sholawat....kemudian saya bertanya tentang bulan, maka dia menjawab dengan jawaban yang sama yaitu: ”At Tahiyyat wash sholawat”. Dan ketika saya keluar maka saya kentut pada jenggotnya. Kemudian saya berkata : ”Dia tidak akan beruntung selamanya“. (dalam Ma’rifatu Akhbarir Rijal hal 106)[1]
Penghinaan mana yang lebih besar dari hal ini, setiap orang akan merasa dihinakan dengan perlakuan ini, bagaiamana halnya dengan seorang Imam seperti Ja’far Shodiq. Barangkali perkataan ini muncul dari diri Zurarah sendiri, adapun keberanian berbuat seperti itu tidak akan pernah ditemukan selain pada dirinya. Riwayat ini cukuplah sebagai bukti dengan sendirinya dan akal pun akan bisa menilainya.
RIWAYAT KEDUA,
Wahai pembaca yang budiman jangan heran terhadap penuturan diatas. Riwayat berikut merupakan riwayat yang benar berasal dari Imam Ja’far. Ziad ibn Abi Halal meriwayatkan, bahwasanya dia berkata : ”Saya bertanya kepada Abu Abdullah : ”Sesungguhnya Zurarah meriwayatkan tentang “istithoah(mampu)” dari kamu suatu hal, kemudian kami terima riwayat itu dan kami benarkan. Disini kami ingin menanyakan kembali kepada anda. Maka Abu Abdillah berkata :” Ya”. Saya berkata : ”Dia mengklaim bahwasanya dia pernah bertanya kepada mu tentang fiman Allah : ”Dan diwajibkan bagi manusia untuk menunaikan ibadah hajji, bagi siapa saja yang mempunyai kemampuan”. Kemudian kamu menjawab : ”Bagi siapa saja yang memiliki bekal dan kendaraan“. Maka dia berkata kepadanya : ”Siapa saja yang memiliki harta dan kendaraan berarti dia mampu untuk mengerjakan haji, meskipuin dia tidak pergi haji ? Maka anda menjawab : ”Ya”
Maka Abu Abdullah berkata : ”Bukan demikan dia bertanya dan juga bukan demikian saya menjawab, demi Allah dia telah berdusta kepadaku, demi Allah semoga Allah melaknat Zurarah, Zurarah terlaknat, semoga Allah melaknat Zurarah. Sesungguhnya apa yang sebenarnya dia katakan adalah : ”Barang siapa yang memiliki harta dan kendaraan, apakah dia dikatagorikan mampu menunaikan haji? Saya menjawab : ”Telah wajib baginya”. Dia berkata : ”Apakah dia mampu ?”, Maka saya berkata : ”Tidak sehingga diijinkan“. [2]
Abu Abdillah berkata : ”Beritahukan hal ini kepada Zurarah!” Maka ketika kami datang di Kufah dan kami bertemu dengan Zurarah, saya beritahukan kepadanya yang telah dikatakan Abu Abdullah dan dia pun tidak bereaksi dengan ucapan laknat Abu Abdullah. Dia berkata: ”Dia memberi pengertian “istitho’ah” dengan sesuatu yang tidak bisa difahami”. Sesungguhnya Abu Abdillah adalah orang yang tidak begitu faham akan orang lain “.
Riwayat ini di nukilkan oleh Kasyi sebagaimana disebutkan Kho’ui dalam Mu’jamur Rijalil Hadits ( juz. 8, hal. 236-247) dan tidak ada komentar tentangnya.
Tidak diragukan bagi anda sekalian, bahwa laknat adalah diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, Laknat ini pun keluar dari -yang menurut aqidah syiah- orang yang mereka anggap ma’shum. Dengan demikian apakah kiranya orang yang sudah dilaknat oleh imamnya akan masih diterima dan riwayatnya dianggap kuat? Ada yang mengatakan hal ini adalah taqiyah, bentuk perlindungan Abu Abdillah kepada Zurarah, sebagaimana dikatakan sebagian ulama syiah. Akan tetapi bukankah yang menjadi lawan bicara Abdullah adalah juga seorang syiah, untuk kepentingan apa Abu Abdillah mengadakan taqiyah???? Zaid bin Halal dianggap tsiqoh oleh Najasyi, untuk apa Abu Abdillah bertaqiyyah?
Jika memang benar itu untuk taqiyyah, lalu apa alasan Zurarah mencela Abu Abdillah dan mengatakan dia tidak faham omongan orang? Perhatikanlah wahai pembaca, jika anda membaca dan meneliti riwayat-riwayat syiah maka anda akan menemukan kontradiksi yang mengherankan.
Kemudian sebagian ulama syiah mengatakan : “Bahwa ketika Imam mencela Zurarah tujuannya adalah untuk membela dan menjaganya dari aniaya musuh“. Hal ini diriwayatkan oleh Abdullah ibn Zurarah. Dan tidak disangsikan lagi bahwa riwayat anak yang tujuannya mengadakan pembelaan terhadap bapaknya, adalah riwayat yang cacat.
RIWAYAT KETIGA ,
Kisyi menukilkan sebuah riwayat yang disebutkan pengarang kitab Mu’jamu Rijalil Hadits (juz.8, hal 234) setelah menyebutkan urutan sanad dari Zurarah berkata : ”Berkata kepadaku Abu Ja’far: “Ceritakan tentang Bani Israel maka (hal itu)tidak apa-apa”. Saya berkata : ”Demi Allah sesungguhnya dalam hadits syiah ada kisah-kisah yang lebih aneh dari kisah Bani Israel“ Berkata : ”tentang hal apa wahai Zurarah?”. Berkata rowi : ”maka hatiku seperti tercuri, sehingga aku berdiam untuk beberapa waktu dan aku tidak mengetahui apa yang aku maksudkan”. Kemudian dia berkata :” Barangkali yang anda maksudkan adalah masalah ghaibah”. Saya berkata : ”Ya”. Berkata : ”percayalah pada hal itu karena itu merupakan kebenaran“.
Bukankah riwayat ini menunjukkan keraguan yang ada pada diri Zurarah terhadap akidah tentang ghaibah. Seolah-olah dia belum yakin dengannya. Padahal soal aqidah tidak boleh ada keraguan didalamnya. Dan bagaimana mungkin keraguan datang dari seorang yang merupakan gudangnya hadits para imam?
RIWAYAT KEEMPAT,
Disebutkan oleh Khou’i dalam Mu’jamul Rijalil Hadits (juz 8 hal. 243-244) setelah menyandarkan sanadnya kepada Isa ibn Abi Manshur dan Abi Usamah Asyahham dan Ya’kub ibn Ahmar (semuanya) berkata: ”Kami sedang duduk-duduk bersama Abu Abdillah, kemudian masuklah Zurarah dan berkata: ” Sesungguhnya Hakam ibn ‘Ayyinah menceritakan dari bapakmu bahwasanya dia berkata : ”Sholatlah maghrib sebelum sampai di Muzdalifah“, Maka berkata Abu Abdillah: ”setelah saya ingat-ingat, bapakku tidak mengatakan demikian, Hakam telah berdusta kepada bapakku. Maka keluarlah Zurarah sambil berkata: “menurut saya Hakam tidak berdusta pada bapaknya(abu Abdillah)“
Perhatikanlah perkataan Zurarah, bagaimana mendustakan Imam yang ma’shum dan menganggapnya salah hanya karena perkataan imam tadi berbeda dengan perkataannya. Dan bagaimana mungkin orang semacam ini dipercaya ?
RIWAYAT KELIMA,
Dalam Mu’jam Rijal ul Hadits disebutkan ( juz8, hal 239) Kisyi menukilkan dari Jamil ibn Darraj dan yang lainnya bahawasanya dia berkata: ”Zurarah mengutus anaknya yang bernama Ubaid ke Madinah guna mencari berita tentang Abil Hasan dan Abdullah ibn Abi Abdillah. Akan tetapi anaknya meninggal dunia sebelum pulang sampai ke rumahnya”.
Maha Suci Allah, seorang Nara sumber hadits tidak mengetahui Imam zamannya padahal dia termasuk orang yang paling dekat dengan bapaknya ? Dan pantaskah kalau dia lupa terhadap orang yang sudah jelas di nashkan keimamahannya dan diturunkan wahyu tentang keimamahannya???.
Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah mengetahui Imam pada masa itu akan tetapi dia mengirim anaknya untuk mengenal lebih dekat dan dengan alasan taqiyah. Bukahkah hal ini bertentangan dengan perkataannnya sendiri ketikan mengatakan: ”Untuk mencari berita tentang Abul Hasan dan Abdullah ibn Abi Abdullah, siapakah diantara keduanya yang menjadi imam???. Maka kita dapati perkataan para imam syiah banyak bertentangan dengan hadits yang mereka sendiri menganggapnya sahih, seperti riwayat ini. .......
Pembaca yang budiman, ini adalah sebagaian riwayat yang hanya saya sebutkan sebagian saja supaya tidak terlalu panjang. Akan tetapi saya sangat terheran-heran ketika saya mendapatkan komentar tentang sebagian riwayat yang mencela Zurarah. Kita dapati disana sebagaian riwayat akan dianggap lemah padahal di buku lain perawinya dianggap kuat oleh sebagian ulama syiah lainnya, seperti Muhammad ibn Isa ibn Ubaid. Dan apabila Muhammad ibn Isa kebetulan meriwayatkan satu ahal yang berisi celaan terhadap Zurarah, maka mereka lemahkan. Sebaliknya apabila meriwayatkan satu riwayat yang mengandung pujian terhadap Zurarah maka mereka bersedia menggunakan Muhammad ibn Isa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Hawil Aqwal fii ma’rifatir Rijal (juz.1 hal 393) ketika memuji Zurarah dalam satu riwayat dari Abi Abdullah.
Pembaca budiman, ini adalah sebagaian riwayat yang kami paparkan kepada anda. Saya menunggu komentar dan kajian anda dengan kajian yang teliti. Seandainya anda benar, maka itu adalah dari Allah, akan tetapi jika salah itu berasal dari itu adalah dari diriku dan dari setan. Dan jangan sekali-kali menggunakan pandangan orang yang taklid, akan tetapi gunakan akalmu, sehingga kita bisa mengatakan bahwa ini adalah salah dan itu adalah benar. Sehingga kita bisa lebih banyak mendapatkan kesepakatan. Dan semoga Allah menunjukkan kita kepada seluruh jalan menuju kebaikan dan kebenaran. Amin
[1] Inilah akhlak perawi utama “mazhab ahlul bait”. Jika perbuatan ini dilakukan oleh orang sunii, maka dia akan dikutuk oleh Syi’ah hingga hari kiamat, karena telah melakukan penghinaan terhadap Ahlul bait. Tapi karena yang berbuat di sini adalah “teman sendiri” maka tidak apa apa, malah riwayatnya dijadikan pedoman.
[2] Menurut Syiah, para imam adalah maksum, terbebas dari kesalahan. Sementara Imam telah mengutuk Zurarah, mestinya kaum syiah merasa malu karena nama orang ini menghiasi buku yang paling sohih bagi Syiah, yaitu Al Kafi. Tapi, lagi-lagi karena Zurarah adalah “teman semazhab”, maka tidak mengapa.
Tuesday, May 8, 2007
NIKAH & MUT'AH
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
A. PERINTAH UNTUK MENIKAH DALAM AL QUR’AN DAN SUNNAH NABI
Islam memerintahkan ummatnya untuk menikah. Anjuran ini tercantum dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam sebagai berikut :
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُو
ا[1]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)[2]
Ayat ini berisi perintah bagi kaum muslimin agar mereka menikah dengan wanita yang mereka sukai dua, tiga atau empat. Jika takut bertindak tidak adil kepada istri-istrinya yang lebih dari satu, maka diperbolehkan menikah dengan satu istri. Namun seorang muslim tetap diperintahkan untuk menikah.
Allah menceritakan bahwa para Nabi dan Rasul juga melaksanakan pernikahan dan mempunyai keturunan. Allah berfirman :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً[
Ayat ini berisi perintah bagi kaum muslimin agar mereka menikah dengan wanita yang mereka sukai dua, tiga atau empat. Jika takut bertindak tidak adil kepada istri-istrinya yang lebih dari satu, maka diperbolehkan menikah dengan satu istri. Namun seorang muslim tetap diperintahkan untuk menikah.
Allah menceritakan bahwa para Nabi dan Rasul juga melaksanakan pernikahan dan mempunyai keturunan. Allah berfirman :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً[
3]... ...
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan[4].(QS. 13:38)
Para Nabi dan Rasul adalah mereka yang berjalan pada jalan yang lurus, jika mereka menikah maka sudah semestinya kita ikuti ajaran mereka.
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan[4].(QS. 13:38)
Para Nabi dan Rasul adalah mereka yang berjalan pada jalan yang lurus, jika mereka menikah maka sudah semestinya kita ikuti ajaran mereka.
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [
5]
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang wanita.Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [6]
Pernikahan memerlukan bekal jasmani dan rohani, namun karena pentingnya pernikahan bagi seorang muslim, jika ada seorang muslim yang berniat menjaga dirinya dengan menikah namun masih belum mampu dalam finansial maka kaum muslimin secara umum diperintahkan untuk membantunya melaksanakan pernikahan. Ini menunjukkan penekanan yang sangat kuat bagi seorang muslim untuk melangsungkan pernikahan.
Demikian ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk menikah. Nabi Muhammad Sallalahu Alaihi Wasallam juga menekankan perintah untuk menikah dalam hadits yang tercantum dalam literatur-literatur hadits. Di antaranya adalah sebagai berikut :
... أَمَا وَ اللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاْكُمْ ِللهِ وَ أَتْقَاكُمْ لَهُ, لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَ أَفْطُرُ, وَ أُصَلِّيْ وَ أَرْقُدُ وَ أَتَزَوَّجُ النِّـسَاءَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang wanita.Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [6]
Pernikahan memerlukan bekal jasmani dan rohani, namun karena pentingnya pernikahan bagi seorang muslim, jika ada seorang muslim yang berniat menjaga dirinya dengan menikah namun masih belum mampu dalam finansial maka kaum muslimin secara umum diperintahkan untuk membantunya melaksanakan pernikahan. Ini menunjukkan penekanan yang sangat kuat bagi seorang muslim untuk melangsungkan pernikahan.
Demikian ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk menikah. Nabi Muhammad Sallalahu Alaihi Wasallam juga menekankan perintah untuk menikah dalam hadits yang tercantum dalam literatur-literatur hadits. Di antaranya adalah sebagai berikut :
... أَمَا وَ اللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاْكُمْ ِللهِ وَ أَتْقَاكُمْ لَهُ, لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَ أَفْطُرُ, وَ أُصَلِّيْ وَ أَرْقُدُ وَ أَتَزَوَّجُ النِّـسَاءَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي
ْ[7]
Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut pada Allah dan paling bertaqwa di antara kalian, tapi aku berpuasa dan makan, sholat malam dan tidur dan aku pun menikahi wanita, barang siapa tidak suka dengan sunnahku maka dia bukanlah bagian dari ummatku
Dalam hadits ini Nabi memerintahkan orang muslim untuk menikah dan meninggalkan kerahiban walaupun dengan alasan supaya lebih berkonsentrasi pada melaksanakan ibadah dan amalan akherat. Hadits ini juga menjelaskan bahwa menikah adalah ajaran Nabi yang harus diikuti. Maka bagi pemuda yang telah siap jasmani dan rohani rohani hendaknya segera memulai upaya untuk menuju pernikahan.
B. TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Berikut ini adalah sebagian dari tujuan pernikahan dalam Islam :
1. Sebagai salah satu bentuk pengabdian pada Allah yang berujung pada ridho Allah dan perolehan pahala.
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menikah, sedang telah kita ketahui bahwa dalam pelaksanaan setiap perintah Allah pasti ada pahala yang dijanjikan. Maka menikah merupakan salah satu sarana untuk menambah pahala, yang kelak menjadi pemberat timbangan amal di akherat. Selain pernikahan itu sendiri menghasilkan pahala, dalam masih banyak sarana pencarian pahala yang terwujud sebagai dampak positif pernikahan. Di antaranya adalah pahala yang didapat dari hubungan suami istri. Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam bersabda :
Dalam hadits ini Nabi memerintahkan orang muslim untuk menikah dan meninggalkan kerahiban walaupun dengan alasan supaya lebih berkonsentrasi pada melaksanakan ibadah dan amalan akherat. Hadits ini juga menjelaskan bahwa menikah adalah ajaran Nabi yang harus diikuti. Maka bagi pemuda yang telah siap jasmani dan rohani rohani hendaknya segera memulai upaya untuk menuju pernikahan.
B. TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Berikut ini adalah sebagian dari tujuan pernikahan dalam Islam :
1. Sebagai salah satu bentuk pengabdian pada Allah yang berujung pada ridho Allah dan perolehan pahala.
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menikah, sedang telah kita ketahui bahwa dalam pelaksanaan setiap perintah Allah pasti ada pahala yang dijanjikan. Maka menikah merupakan salah satu sarana untuk menambah pahala, yang kelak menjadi pemberat timbangan amal di akherat. Selain pernikahan itu sendiri menghasilkan pahala, dalam masih banyak sarana pencarian pahala yang terwujud sebagai dampak positif pernikahan. Di antaranya adalah pahala yang didapat dari hubungan suami istri. Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam bersabda :
...وَ فِيْ بُــضْـعِ أَحَدِكُمْ أَهْلَهُ صَدَقَةٌ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَاْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَ يَكُوْنُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَال أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ, أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكذَلِكَ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ الحَلاَلِ, كَانَ لَهُ أَجْر
[8]ٌ
...Seseorang akan mendapat pahala jika menggauli istrinya. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah apakah dengan menyalurkan syahwat kita akan mendapatkan pahala? Nabi menjawab : jika disalurkan ke jalan yang haram apakah tidak berdosa? Begitu juga jika disalurkan ke jalan yang halal maka akan mendapat pahala.
Dengan menikah dan menghasilkan keturunan, maka kedua orang tua yang mendidik keturunannya dengan baik akan memperoleh pahala dari kebaikan yang dilakukan oleh keturunannya, baik semasa orang tua hidup maupun setelah meninggal dunia. Jika kedua orang tua diberi umur panjang, akan menuai hasil pendidikan yang baik dari keturunan mereka berdua. Anak cucu pasti akan berbakti dan berbuat baik pada kedua orang tua dan tak akan menelantarkan kedua orang tua. Anak akan merasa bahwa budi kedua orang tua padanya tak akan pernah terbalas. Belum lagi pahala yang menunggu di akherat sebagai hasil kebaikan anak yang diperbuat akibat didikan orang tua. Selain itu anak-anak yang terdidik dengan baik akan selalu mendoakan kedua orang tua, baik semasa hidup maupun setelah meninggal dunia. Sebuah kesempatan untuk menambah pahala setelah meninggal dunia.
2. Sebagai penyaluran hasrat biologis manusia dalam rangka mendapatkan keturunan.
Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui menciptakan seluruh makhluk berpasang-pasangan, termasuk manusia juga diciptakan berpasang-pasangan. Demikianlah berpasang-pasangan adalah menjadi syarat bagi terjadinya perkembangbiakan. Jika manusia tidak memiliki pasangan maka tidak akan pernah berkembang biak. Demikian jika kita lihat dalam skala lebih besar, jika suatu bangsa tidak lagi berminat melaksanakan pernikahan, maka bangsa tersebut di ambang kepunahan, karena tidak adanya perkembangbiakan yang menjamin kelangsungan generasi bangsa itu. Akhirnya tanpa perkawinan, umat manusia akan terancam kepunahan. Mungkin ini adalah salah satu hikmah manusia diciptakan memiliki rasa tertarik pada lawan jenis, sehingga masing-masing jenis condong dan tertarik pada lawan jenisnya dan melangsungkan perkawinan. Inilah salah satu tujuan perkawinan dalam Islam, yaitu untuk menyalurkan hasrat ketertarikan yang ada pada manusia yang membawa efek kelangsungan generasi manusia. Tapi apakah tujuan perkawinan hanyalah sekedar pemuasan nafsu biologis semata? Jika kita perhatikan pada makhluk hidup selain manusia, ada yang dalam memuaskan nafsu biologis tidak memerlukan lembaga perkawinan, sehingga masing-masing tidak memiliki keterikatan kecuali hanya sekedar demi hasrat bersama lalu ikatan itu pun hilang setelah tercapainya hasrat itu. Berarti lembaga perkawinan memiliki tujuan yang luhur, tidak sekedar demi mencapai kepuasan biologis yang tidak hanya terdapat pada manusia. Islam mengatur ini karena masalah hubungan biologis manusia tidak seperti makhluk lain, karena manusia kelak akan menghasilkan keturunan yang memiliki tujuan hidup, yang memerlukan pendidikan dan kasih sayang, yang mutlak penting bagi mereka supaya mereka tumbuh kelak dapat menjalankan misinya, memakmurkan bumi. Maka Islam mengatur masalah hubungan biologis dan memberinya wadah penyaluran yang tepat, yaitu pernikahan, guna mendapatkan keturunan. Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam menganjurkan ummatnya agar menikahi wanita yang penyayang lagi subur, karena salah satu tujuan pernikahan adalah untuk memperbanyak keturunan dan kwantitas umat Islam.
3. Menjaga stabilitas sosial masyarakat.
Dengan adanya pernikahan maka masyarakat akan terjaga dari bencana yang ada akibat terjadinya perzinaan. Karena jika tidak ada penyaluran nafsu biologis di jalan yang seharusnya maka yang terjadi adalah perzinaan. Sedang perzinaan akan mengakibatkan bencana yang luar biasa dahsyatnya bagi kemanusiaan. Oleh karena itu Allah menetapkan bahwa berzina adalah dosa besar yang ketiga, setelah syirik dan membunuh manusia tanpa ada alasan syar’i. Jika kita perhatikan, menyebarnya perzinaan akan merusak pribadi yang berakibat rusaknya tatanan sosial masyarakat. Masyarakat perlahan akan menjauhi lembaga perkawinan yang menuntut tanggung jawab karena sudah dapat melampiaskan nafsunya dengan berzina. Akibat lain yang timbul karena perzinaan adalah tersebarnya penyakit seksual yang berbahaya merongrong kesehatan masyarakat. Dapat kita lihat dewasa ini, dunia masih terus berupaya menemukan obat yang menyembuhkan penderita AIDS, yang sering menimpa para pezina. Jika perzinaan merebak, maka jumlah anak yang lahir di luar lembaga perkawinan akan terus meningkat. Siapa yang bertanggungjawab atas kehidupan mereka? Sedangkan anak-anak itu tinggal di bawah asuhan ibu mereka yang sibuk mencari nafkah hingga tak lagi sempat untuk mendidik mereka dengan benar. Anak-anak yang tak sempat dididik dengan benar itu kelak akan membebani masyarakat. Apakah negara harus menyediakan panti asuhan yang menjamin kehidupan mereka hingga dewasa? Akhirnya orang akan malas menikah dan jumlah generasi muda pun menurun. Maka pemerintah sudah semestinya memikirkan cara agar rakyat tidak mendapati kesulitan untuk menikah, guna menjaga kestabilan sosial yang pada akhirnya akan berakibat positif bagi negara itu sendiri.
4. Mendapatkan ketenangan bagi jiwa manusia.
Allah memberikan perumpamaan bagi sifat hubungan dua jenis manusia dengan pakaian, yang selalu dibutuhkan manusia setiap saat. Ini adalah penjelasan dari Allah, yang menciptakan manusia, menetapkan bahwa kedua jenis manusia selalu saling memerlukan. Jika manusia nampak tidak sempurna jika tanpa pakaian, maka kehidupan masing-masing jenis manusia tidak akan sempurna tanpa pendamping dari jenis lain. Bentuk hubungan yang saling melengkapi itu hanya ada dalam lembaga perkawinan. Tanpa lembaga perkawinan, tidak akan pernah ada proses saling melengkapi antara laki-laki dan wanita. Suami dengan organ fisiologis dan psikologis yang diciptakan untuk mengarungi gelombang kehidupan yang dahsyat, akan berperan sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah bagi keluarganya. Sementara istri dengan organ fisiologis dan psikologis yang diciptakan untuk mendidik dan menjadi ibu, akan menjadi ibu yang baik di rumah, mendidik generasi muda penerus masyarakat. Suami yang penat menanggung beban kehidupan akan mendapat ketenangan di rumahnya, yang nyaman dengan istri menyambut setelah seharian di luar rumah. Begitu juga istri yang memerlukan sosok pemimpin yang tegar, akan merasa tenang hidupnya dengan suami yang mendampingi, memberikan rasa aman dan ketentraman dalam hidup.
Allah berfirman :
...Seseorang akan mendapat pahala jika menggauli istrinya. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah apakah dengan menyalurkan syahwat kita akan mendapatkan pahala? Nabi menjawab : jika disalurkan ke jalan yang haram apakah tidak berdosa? Begitu juga jika disalurkan ke jalan yang halal maka akan mendapat pahala.
Dengan menikah dan menghasilkan keturunan, maka kedua orang tua yang mendidik keturunannya dengan baik akan memperoleh pahala dari kebaikan yang dilakukan oleh keturunannya, baik semasa orang tua hidup maupun setelah meninggal dunia. Jika kedua orang tua diberi umur panjang, akan menuai hasil pendidikan yang baik dari keturunan mereka berdua. Anak cucu pasti akan berbakti dan berbuat baik pada kedua orang tua dan tak akan menelantarkan kedua orang tua. Anak akan merasa bahwa budi kedua orang tua padanya tak akan pernah terbalas. Belum lagi pahala yang menunggu di akherat sebagai hasil kebaikan anak yang diperbuat akibat didikan orang tua. Selain itu anak-anak yang terdidik dengan baik akan selalu mendoakan kedua orang tua, baik semasa hidup maupun setelah meninggal dunia. Sebuah kesempatan untuk menambah pahala setelah meninggal dunia.
2. Sebagai penyaluran hasrat biologis manusia dalam rangka mendapatkan keturunan.
Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui menciptakan seluruh makhluk berpasang-pasangan, termasuk manusia juga diciptakan berpasang-pasangan. Demikianlah berpasang-pasangan adalah menjadi syarat bagi terjadinya perkembangbiakan. Jika manusia tidak memiliki pasangan maka tidak akan pernah berkembang biak. Demikian jika kita lihat dalam skala lebih besar, jika suatu bangsa tidak lagi berminat melaksanakan pernikahan, maka bangsa tersebut di ambang kepunahan, karena tidak adanya perkembangbiakan yang menjamin kelangsungan generasi bangsa itu. Akhirnya tanpa perkawinan, umat manusia akan terancam kepunahan. Mungkin ini adalah salah satu hikmah manusia diciptakan memiliki rasa tertarik pada lawan jenis, sehingga masing-masing jenis condong dan tertarik pada lawan jenisnya dan melangsungkan perkawinan. Inilah salah satu tujuan perkawinan dalam Islam, yaitu untuk menyalurkan hasrat ketertarikan yang ada pada manusia yang membawa efek kelangsungan generasi manusia. Tapi apakah tujuan perkawinan hanyalah sekedar pemuasan nafsu biologis semata? Jika kita perhatikan pada makhluk hidup selain manusia, ada yang dalam memuaskan nafsu biologis tidak memerlukan lembaga perkawinan, sehingga masing-masing tidak memiliki keterikatan kecuali hanya sekedar demi hasrat bersama lalu ikatan itu pun hilang setelah tercapainya hasrat itu. Berarti lembaga perkawinan memiliki tujuan yang luhur, tidak sekedar demi mencapai kepuasan biologis yang tidak hanya terdapat pada manusia. Islam mengatur ini karena masalah hubungan biologis manusia tidak seperti makhluk lain, karena manusia kelak akan menghasilkan keturunan yang memiliki tujuan hidup, yang memerlukan pendidikan dan kasih sayang, yang mutlak penting bagi mereka supaya mereka tumbuh kelak dapat menjalankan misinya, memakmurkan bumi. Maka Islam mengatur masalah hubungan biologis dan memberinya wadah penyaluran yang tepat, yaitu pernikahan, guna mendapatkan keturunan. Nabi Sallalahu Alaihi Wasallam menganjurkan ummatnya agar menikahi wanita yang penyayang lagi subur, karena salah satu tujuan pernikahan adalah untuk memperbanyak keturunan dan kwantitas umat Islam.
3. Menjaga stabilitas sosial masyarakat.
Dengan adanya pernikahan maka masyarakat akan terjaga dari bencana yang ada akibat terjadinya perzinaan. Karena jika tidak ada penyaluran nafsu biologis di jalan yang seharusnya maka yang terjadi adalah perzinaan. Sedang perzinaan akan mengakibatkan bencana yang luar biasa dahsyatnya bagi kemanusiaan. Oleh karena itu Allah menetapkan bahwa berzina adalah dosa besar yang ketiga, setelah syirik dan membunuh manusia tanpa ada alasan syar’i. Jika kita perhatikan, menyebarnya perzinaan akan merusak pribadi yang berakibat rusaknya tatanan sosial masyarakat. Masyarakat perlahan akan menjauhi lembaga perkawinan yang menuntut tanggung jawab karena sudah dapat melampiaskan nafsunya dengan berzina. Akibat lain yang timbul karena perzinaan adalah tersebarnya penyakit seksual yang berbahaya merongrong kesehatan masyarakat. Dapat kita lihat dewasa ini, dunia masih terus berupaya menemukan obat yang menyembuhkan penderita AIDS, yang sering menimpa para pezina. Jika perzinaan merebak, maka jumlah anak yang lahir di luar lembaga perkawinan akan terus meningkat. Siapa yang bertanggungjawab atas kehidupan mereka? Sedangkan anak-anak itu tinggal di bawah asuhan ibu mereka yang sibuk mencari nafkah hingga tak lagi sempat untuk mendidik mereka dengan benar. Anak-anak yang tak sempat dididik dengan benar itu kelak akan membebani masyarakat. Apakah negara harus menyediakan panti asuhan yang menjamin kehidupan mereka hingga dewasa? Akhirnya orang akan malas menikah dan jumlah generasi muda pun menurun. Maka pemerintah sudah semestinya memikirkan cara agar rakyat tidak mendapati kesulitan untuk menikah, guna menjaga kestabilan sosial yang pada akhirnya akan berakibat positif bagi negara itu sendiri.
4. Mendapatkan ketenangan bagi jiwa manusia.
Allah memberikan perumpamaan bagi sifat hubungan dua jenis manusia dengan pakaian, yang selalu dibutuhkan manusia setiap saat. Ini adalah penjelasan dari Allah, yang menciptakan manusia, menetapkan bahwa kedua jenis manusia selalu saling memerlukan. Jika manusia nampak tidak sempurna jika tanpa pakaian, maka kehidupan masing-masing jenis manusia tidak akan sempurna tanpa pendamping dari jenis lain. Bentuk hubungan yang saling melengkapi itu hanya ada dalam lembaga perkawinan. Tanpa lembaga perkawinan, tidak akan pernah ada proses saling melengkapi antara laki-laki dan wanita. Suami dengan organ fisiologis dan psikologis yang diciptakan untuk mengarungi gelombang kehidupan yang dahsyat, akan berperan sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah bagi keluarganya. Sementara istri dengan organ fisiologis dan psikologis yang diciptakan untuk mendidik dan menjadi ibu, akan menjadi ibu yang baik di rumah, mendidik generasi muda penerus masyarakat. Suami yang penat menanggung beban kehidupan akan mendapat ketenangan di rumahnya, yang nyaman dengan istri menyambut setelah seharian di luar rumah. Begitu juga istri yang memerlukan sosok pemimpin yang tegar, akan merasa tenang hidupnya dengan suami yang mendampingi, memberikan rasa aman dan ketentraman dalam hidup.
Allah berfirman :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
[9]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.[10]
Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya mengenai ayat ini :
Jika Allah menjadikan seluruh anak Adam adalah laki-laki dan menjadikan jodoh dan istrinya dari jenis lain seperti jin dan hewan maka tidak akan pernah terjadi rasa cinta dan kasih sayang, yang akan terjadi adalah rasa benci dan ketidakcocokan jika dijadikan istrinya adalah dari jenis lain selain manusia. Sebagian dari kesempurnaan RahmatNya adalah dengan menjadikan jodoh anak Adam adalah dari jenisnya sendiri dan menjadikan antara mereka dan istri-istri mereka rasa cinta dan kasih sayang. Seorang laki-laki memperistri seorang wanita karena rasa cinta yang ada atau karena rasa kasih sayang dan belas kasih padanya demi mengharap keturunan dan karena si istri memerlukan suami dalam hal nafkah atau untuk mempererat hubungan antara mereka berdua.[11]
Dalam ayat jelas disebutkan bahwa ketenangan akan terwujud setelah adanya istri. Sedangkan yang disebut istri adalah seorang wanita yang menikah dengan seorang pria. Tanpa pernikahan tak akan pernah ada ketenangan jiwa walaupun hasrat biologis terpenuhi. Ini sekali lagi membuktikan bahwa tujuan pernikahan tidak hanya sekedar menyalurkan hasrat biologis.
C. SELAYANG PANDANG ATURAN ISLAM DALAM PERNIKAHAN
1. Sekilas Pernikahan dalam Islam
Islam yang mensyareatkan pernikahan, tidak hanya berhenti pada sekedar menyuruh ummatnya menikah, tapi juga mengatur segala yang terkait dari pernikahan supaya menjamin pencapaian tujuan mulia pernikahan. Aturan Islam dalam hal ini merupakan aturan yang terbaik dan paling cocok bagi kehidupan manusia, karena berasal dari Allah, Sang Pencipta manusia yang tentunya lebih memahami ciptaanNya.
Pernikahan diawali oleh ketertarikan seorang pria pada lawan jenisnya. Dianjurkan memilih pasangan yang baik agamanya tapi tanpa mengabaikan kecocokan dan kecondongan pada sisi-sisi manusiawi yang ada. Jika sudah mantap dengan pilihannya, maka dilanjutkan pada proses peminangan atau khitbah. Islam mengatur peminangan ini dengan melarang orang muslim meminang wanita yang telah dipinang oleh muslim lainnya. Dalam masa peminangan ini masing-masing berkesempatan untuk melakukan persiapan bagi lancarnya upacara pernikahan dan kehidupan baru yang akan dijalani bersama oleh suami dan istri. Peminangan tidak menimbulkan konsekwensi hukum sebagaimana pernikahan, karena sampai di sini kedua pihak belum dianggap sebagai suami istri. Pinangan tidak bersifat mengikat dan dapat membatalkan peminangan jika diperlukan. Peminangan dilanjutkan dengan upacara akad nikah yang diatur oleh Islam dengan syarat dan rukunnya, seperti adanya dua mempelai, wali, saksi, mahar dan akad nikah itu sendiri. Islam menganjurkan adanya walimah atau pengumuman nikah. Setelah akad nikah, dimulailah hidup baru kedua mempelai dengan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing suami dan istri, yang juga telah diatur oleh Islam. Jika diberi keturunan, maka Islam mengatur bagaimana hubungan antara anak dan kedua orang tua, yang wajib membimbing anak ke jalan yang diridhoi Allah, mengantarkan mereka menuju gerbang kehidupan yang mandiri yang kelak membentuk keluarga baru, demikian seterusnya. Sebagaimana lautan, rumah tangga pun tak selamanya aman dari goncangan. Dengan sifat bijaksana suami dan istri maka halangan dan rintangan akan dapat diatasi. Islam telah memberi petunjuk bagaimana menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Jika suami dan istri tidak dapat menyelesaikan permasalahan, maka hendaknya utusan dari masing-masing keluarga suami dan istri ikut turun tangan menyelesaikan permasalahan. Perkawinan diakhiri dengan perceraian yang merupakan pilihan terakhir setelah seluruh daya upaya dikerahkan untuk perdamaian. Jika terjadi perceraian, nasib anak hasil pernikahan tidak akan diabaikan. Islam tak mengabaikan anak-anak yang kedua orang tuanya harus bercerai. Islam mengharuskan sang Ayah untuk memberi nafkah pada anaknya baik yang diasuh oleh ayah maupun oleh ibu hingga dewasa. Sehingga anak tidak akan terlantar dan memperoleh haknya, yaitu pendidikan dan kasih sayang, akibat perceraian kedua orang tua. Jika anak masih wajib berbakti pada kedua orang tua setelah keduanya meninggal, maka anak pun masih wajib berbakti pada orang tua walaupun setelah keduanya terpisah karena perceraian.
2) Beberapa Hukum Pernikahan dalam Islam.
1. Istri hanya ada dalam tiga bentuk yaitu istri merdeka, istri budak atau budak sahaya.
Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya mengenai ayat ini :
Jika Allah menjadikan seluruh anak Adam adalah laki-laki dan menjadikan jodoh dan istrinya dari jenis lain seperti jin dan hewan maka tidak akan pernah terjadi rasa cinta dan kasih sayang, yang akan terjadi adalah rasa benci dan ketidakcocokan jika dijadikan istrinya adalah dari jenis lain selain manusia. Sebagian dari kesempurnaan RahmatNya adalah dengan menjadikan jodoh anak Adam adalah dari jenisnya sendiri dan menjadikan antara mereka dan istri-istri mereka rasa cinta dan kasih sayang. Seorang laki-laki memperistri seorang wanita karena rasa cinta yang ada atau karena rasa kasih sayang dan belas kasih padanya demi mengharap keturunan dan karena si istri memerlukan suami dalam hal nafkah atau untuk mempererat hubungan antara mereka berdua.[11]
Dalam ayat jelas disebutkan bahwa ketenangan akan terwujud setelah adanya istri. Sedangkan yang disebut istri adalah seorang wanita yang menikah dengan seorang pria. Tanpa pernikahan tak akan pernah ada ketenangan jiwa walaupun hasrat biologis terpenuhi. Ini sekali lagi membuktikan bahwa tujuan pernikahan tidak hanya sekedar menyalurkan hasrat biologis.
C. SELAYANG PANDANG ATURAN ISLAM DALAM PERNIKAHAN
1. Sekilas Pernikahan dalam Islam
Islam yang mensyareatkan pernikahan, tidak hanya berhenti pada sekedar menyuruh ummatnya menikah, tapi juga mengatur segala yang terkait dari pernikahan supaya menjamin pencapaian tujuan mulia pernikahan. Aturan Islam dalam hal ini merupakan aturan yang terbaik dan paling cocok bagi kehidupan manusia, karena berasal dari Allah, Sang Pencipta manusia yang tentunya lebih memahami ciptaanNya.
Pernikahan diawali oleh ketertarikan seorang pria pada lawan jenisnya. Dianjurkan memilih pasangan yang baik agamanya tapi tanpa mengabaikan kecocokan dan kecondongan pada sisi-sisi manusiawi yang ada. Jika sudah mantap dengan pilihannya, maka dilanjutkan pada proses peminangan atau khitbah. Islam mengatur peminangan ini dengan melarang orang muslim meminang wanita yang telah dipinang oleh muslim lainnya. Dalam masa peminangan ini masing-masing berkesempatan untuk melakukan persiapan bagi lancarnya upacara pernikahan dan kehidupan baru yang akan dijalani bersama oleh suami dan istri. Peminangan tidak menimbulkan konsekwensi hukum sebagaimana pernikahan, karena sampai di sini kedua pihak belum dianggap sebagai suami istri. Pinangan tidak bersifat mengikat dan dapat membatalkan peminangan jika diperlukan. Peminangan dilanjutkan dengan upacara akad nikah yang diatur oleh Islam dengan syarat dan rukunnya, seperti adanya dua mempelai, wali, saksi, mahar dan akad nikah itu sendiri. Islam menganjurkan adanya walimah atau pengumuman nikah. Setelah akad nikah, dimulailah hidup baru kedua mempelai dengan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing suami dan istri, yang juga telah diatur oleh Islam. Jika diberi keturunan, maka Islam mengatur bagaimana hubungan antara anak dan kedua orang tua, yang wajib membimbing anak ke jalan yang diridhoi Allah, mengantarkan mereka menuju gerbang kehidupan yang mandiri yang kelak membentuk keluarga baru, demikian seterusnya. Sebagaimana lautan, rumah tangga pun tak selamanya aman dari goncangan. Dengan sifat bijaksana suami dan istri maka halangan dan rintangan akan dapat diatasi. Islam telah memberi petunjuk bagaimana menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Jika suami dan istri tidak dapat menyelesaikan permasalahan, maka hendaknya utusan dari masing-masing keluarga suami dan istri ikut turun tangan menyelesaikan permasalahan. Perkawinan diakhiri dengan perceraian yang merupakan pilihan terakhir setelah seluruh daya upaya dikerahkan untuk perdamaian. Jika terjadi perceraian, nasib anak hasil pernikahan tidak akan diabaikan. Islam tak mengabaikan anak-anak yang kedua orang tuanya harus bercerai. Islam mengharuskan sang Ayah untuk memberi nafkah pada anaknya baik yang diasuh oleh ayah maupun oleh ibu hingga dewasa. Sehingga anak tidak akan terlantar dan memperoleh haknya, yaitu pendidikan dan kasih sayang, akibat perceraian kedua orang tua. Jika anak masih wajib berbakti pada kedua orang tua setelah keduanya meninggal, maka anak pun masih wajib berbakti pada orang tua walaupun setelah keduanya terpisah karena perceraian.
2) Beberapa Hukum Pernikahan dalam Islam.
1. Istri hanya ada dalam tiga bentuk yaitu istri merdeka, istri budak atau budak sahaya.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُم
[12]ْ
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu..[13]
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّامَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki...[15]
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِين
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.[17]
2. Pernikahan menimbulkan akibat hukum bila salah satu dari suami istri meninggal maka suami atau istrinya berhak mendapat warisan
وَلَكُمْ نِصْفُ مَاتَرَكَ أَزْوَاجُكُم[18]ْ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu[19]
3. Hubungan pernikahan terputus dengan talak cerai, fasakh
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْسَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ[20]
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula)[21].
4. Istri yang telah ditalak tiga dilarang rujuk kembali sebelum menikah dengan pria lain.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [22]
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, ditengkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. [23]
5. Cinta dan kasih sayang adalah pondasi pernikahan
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا[24]
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.[25]
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ[26]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [27]
6. Suami wajib memberi tempat tinggal bagi istri
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ[28]
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu[29]
7. Diharamkan beristri lebih dari empat orang
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا[30]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [31]
8. dilarang menikah dengan wanita yang telah bersuami
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ[32]
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu[33].
9. Dilarang menikah dengan pelacur hingga bertobat
الزَّانِي لاَيَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَيَنكِحُهَآ إِلاَّزَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ[34]
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.[35]
NIKAH MUT’AH ANTARA AHLUSSUNNAH DAN SYI’AH IMAMIYAH
A. DEFINISI AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH DAN SYI’AH IMAMIYAH.
1. Definisi Ahlussunnah Wal Jamaah
1) Definisi Bahasa.
Secara bahasa arti sunnah adalah ajaran atau jalan hidup. Seperti dinukilkan oleh Dr. Nasir Al Qafari dari kitab Misbahul Munir :
Assunnah secara bahasa bermakna ajaran. Arti kata Sunnah adalah ajaran, yang baik maupun yang buruk, bentuk pruralnya adalah sunan.[36]
Dr. Nasir Al Qafari juga menukil dari Lisanul Arab :
Arti kata sunnah adalah : ajaran yang baik dan lurus. Jika ada orang yang berkata bahwa fulan adalah ahlussunnah, maka maksudnya adalah : dia adalah orang yang berpemahaman baik dan lurus.[37]
2) Definisi Istilah.
Yang dimaksud dengan definisi sunnah di sini adalah sunnah sebagai sebuah pola pikir atau sebuah pola keyakinan tertentu. Ibnu Rajab Al Hambali medefinisikan sunnah sebagai berikut :
Sunnah adalah ajaran Nabi dan para sahabat yang terbebas dari kerancuan dan hawa nafsu. Kemudian makna sunnah di kalangan ulama berikutnya dari ahlul hadits dan selain mereka : sebuah julukan atau sebutan bagi ajaran lurus yang terbebas dari kerancuan dalam masalah keyakinan, antara lain khususnya masalah iman pada Allah, Malaikat, Kitab Allah, para Rasul dan hari kiamat. Juga mencakup keimanan pada takdir dan keutamaan sahabat nabi. Para ulama tersebut menulis buku mengenai masalah ini dan mereka memberi judul buku mereka dengan kitabussunnah. Mereka menyebut pembahasan hal ini dengan ilmu sunnah karena urgensinya, dan yang menyimpang dari ajaran ini berada dalam bahaya besar.[38]
Definisi lain dari sunnah adalah :
Ajaran Nabi dan sahabat, baik yang berupa ilmu, keyakinan, perkataan dan perbuatan, inilah sunnah yang harus diikuti, mereka yang mengikutinya dipuji dan yang menyelisihinya adalah tercela. Sunnah juga dijadikan sebutan untuk perkara-perkara yang hukumnya sunnah. Selain itu sunnah juga dijadikan sebutan bagi lawan kata bid’ah,
Sedangkan al jamaah yang secara bahasa berarti sekelompok orang yang berkumpul dan bersepakat atas sesuatu. Dalam kitab lisanul arab disebutkan :
Berasal dari kata Ijtima’, yang artinya adalah lawan kata dari berpecah belah. Makna kata al Jamaah adalah suatu kaum yang berkumpul atau bersepakat atas sebuah perkara.
Sedangkan arti al jamaah secara istilah adalah sahabat, tabi’in dan tabi’uittabi’in serta yang mengikuti mereka hingga hari kiamat, yang mengikuti al qur’an dan sunnah serta para ulama yang mengikuti petunjuk Nabi, sahabat dan tabi’in.
Ahlussunnah wal jamaah adalah mereka yang mengikuti dan berpegang pada sunnah, yaitu para sahabat nabi dan siapa yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Hazm :
Ahlussunnah adalah kelompok yang benar, sedang selain mereka adalah ahlul bid’ah. Mereka adalah sahabat Nabi dan para tabi’in yang mengikuti ajaran sahabat, lalu orang yang mendasarkan ajaran agamanya pada hadits nabi dan siapa saja yang mengikuti ajaran mereka dari golongan fuqoha generasi demi generasi hingga saat ini, serta orang awam yang mengikuti ajaran mereka di seluruh penjuru bumi.[39]
Mengapa mereka disebut sebagai Ahlussunnah? Ibnu Taimiyyah menjawab pertanyaan ini sebagai berikut :
Mereka dijuluki sebagai Ahlussunnah karena mereka mengikuti sunnah Nabi sallallahu alaihi wasallam.
Abul Muzaffar Al Isfirayiini menjelaskan pada kita tentang sebab penjulukan ahlussunnah :
Dalam ummat Islam tidak ada kelompok atau sekte yang paling berpegang teguh dan mengikuti berita-berita yang datang dari Nabi dan sunnahnya daripada mereka, oleh karena itu mereka dijuluki sebagai ahlussunnah. Ketika Nabi ditanya tentang golongan yang selamat, Nabi menjawab : mereka yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku. Ciri-ciri ini terdapat pada Ahlussunnah, karena mereka menjadikan ajaran Nabi dan sahabat sebagai pedoman dalam beragama. Sedangkan kelompok yang mencela sahabat seperti khawarij dan rawafidh maka tidak termasuk ahlussunnah.[40]
Ahlussunnah wal jamaah juga disebut dengan al jamaah, tanpa menggunakan kata ahlussunnah, karena salah satu definisi al jamaah adalah prinsip-prinsip ahlussunnah itu sendiri, seperti kata sahabat Ibnu Mas’ud :
Al Jamaah adalah mendahulukan Abubakar, Umar, Usman dan Ali,serta tidak mencela salah satu dari sahabat Nabi, tidak menganggap manusia keluar dari Islam hanya karena dosa besar, sholat menjadi makmum siapa saja yang mengucapkan La Ilaha Illallah......
Kita lihat di atas jelas bahwa hal-hal yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud adalah beberapa hal yang membedakan ahlussunnah
wal jamaah dengan selain mereka.
2. Definisi Syiah Imamiyah
1) Definisi Bahasa
Secara pengertian bahasa arab, kata Syi'ah berarti penolong, kelompok yang berkumpul dalam sesuatu perkara, atau berkumpul dalam menolong seseorang. Dalam kitab Tajul Arus disebutkan :
Setiap kaum yang menyepakati sebuah perkara maka disebut syiah.. seluruh yang menolong seseorang dan berkelompok menolong seseorang itu maka mereka dalah syiah orang itu[41]
2) Definisi Istilah
Secara istilah syiah adalah mereka yang meyakini bahwa Ali adalah sahabat terbaik setelah Rasulullah, dan meyakini bahwa Ali adalah satu-satunya yang berhak menjadi khalifah setelah nabi dan diikuti oleh anak cucunya. Mereka yang meyakini hal ini mendasarkan keyakinannya bawha Nabi telah menunjuk Ali dan 11 orang anak cucunya menjadi imam setelah Nabi wafat. Mereka yang percaya pada Imamah inilah yang disebut sebagai Syi'ah Imamiyah. Al Mufid, salah seorang ulama syiah mengatakan :
Julukan syiah disematkan bagi para pengikut Ali yang meyakini Ali adalah imam setelah Nabi yang langsung menggantikan posisi Nabi, dan menafikan kepemimpinan mereka yang menjabat khilafah setelah nabi[42]. (Awailul Maqolat hal 39)
Inilah ciri pembeda antara syiah dan kelompok selain mereka, yaitu keyakinan bahwa Ali adalah imam pengganti sepeninggal Nabi.
B. NIKAH MUT'AH MENURUT AHLUSSUNNAH DAN SYIAH
1. Definisi Nikah Mut'ah
1) Terminologi Bahasa Arab
Asal kata mut'ah dalam bahasa arab adalah dari akar kata mata'a, yang mengarah pada makna bersenang-senang dan memanfaatkan.
Kamus Al Munjid menerangkan arti kata mata' sebagai berikut :
Al Mata', bentuk pruralnya adalah al amti'ah, sedang bentuk jam'ul jama'nya adalah amati' dan amatii'. Seluruh yang dimanfaatkan dari perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. ... tamatta'a atau istamta'a : memanfaatkan sesuatu dalam waktu yang lama. AlMunjid hal 746
2) Definisi Istilah
Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mut'ah dalam pembahasan kali ini adalah pernikahan yang ditentukan sampai waktu tertentu, yang mana setelah waktu yang ditentukan habis selesailah pernikahan itu. Imam Syafi'i berkata :
Nikah mut'ah yang dilarang adalah seluruh bentuk pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu, baik waktu itu sebentar maupun lama. [43].
Abu Laits Assamarqondi berkata: Nikah mut'ah hukumnya haram, bentuknya adalah : aku nikahkan anakku untuk waktu sehari atau sebulan[44]
Imam Nawawi dalam al majmu' syarah muhazzab berkata : Nikah Mut'ah adalah seperti bentuk demikian : Aku nikahkan kamu dengan anakku selama sehari atau sebulan, yaitu pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu. Jika waktu yang ditentukan telah selesai maka selesailah pernikahan itu.
Ibnu Dhawayyan berkata :
yaitu menikahkan anaknya hingga batas waktu tertentu, dan mensyaratkan bahwa setelah jangka waktu selesai maka tercerailah suami istri itu.[45]
Dari penjelasan tentang arti nikah mut'ah di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa nikah mut'ah adalah bentuk pernikahan yang selesai bila waktu yang disepakati telah tiba. Setelah waktunya tiba, kedua suami istri akan terpisah tanpa ada proses perceraian sebagaimana pernikahan yang dikenal dalam Islam.
2. Nikah Mut'ah dalam Pandangan Ahlussunnah
Ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa nikah mut'ah pernah dihalalkan sebelum kemudian hukum halal itu mansukh dan menjadi haram sampai hari kiamat. Dasar pijakan ahlussunnah wal jamaah adalah ayat dan hadits sebagai berikut :
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّامَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ[46]...
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..[47].
Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dalam tafsirnya :
Barang siapa yang belum mampu menikahi wanita muslimah merdeka yang menjaga kesuciannya maka nikahilah budak wanita yang beragama Islam...[48]
Jika memang nikah mut'ah diperbolehkan pasti telah disebutkan oleh Allah sebagai alternatif bagi mereka yang tidak mampu menikah secara finansial. Sedangkan dari segi finansial nikah mut'ah tidaklah semahal pengeluaran yang ditimbulkan oleh nikah yang dikenal dalam Islam.
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ [49]
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.)[50]
Ibnu Katsir menerangkan makna ayat ini :
Yaitu mereka yang menjaga kemaluan mereka dari perbuatan haram, mereka tidak melakukan perbuatan yang diharamkan Allah yaitu perbuatan zina dan hubungan sejenis, mereka hanya menggauli istri dan budak mereka yang mana telah dihalalkan oleh Allah bagi mereka. Barang siapa melakukan perbuatan yang dihalalkan Allah maka dia tidak dicela lagi berdosa.[51]
Allah menerangkan sifat orang beriman bahwa mereka menjaga kemaluan mereka dari berzina. Namun diberikan oleh Allah jalan keluar yaitu dengan menikah atau memiliki budak. Jika nikah mut'ah menjadi jalan keluar yang benar pasti disebutkan oleh Allah sebagai tempat penyaluran nafsu syahwat yang diperbolehkan di sini. Nikah mut'ah jelas berbeda dengan pernikahan biasa dan perbudakan. Nikah mut'ah adalah bentuk pernikahan yang selesai dengan sampai waktu yang disepakati kedua pihak. Sementara ikatan pernikahan yang dikenal dalam Islam tidak terlepas dengan berlalunya waktu, namun dengan perceraian. Mut'ah juga tidak sama dengan perbudakan, karena perbudakan adalah status dimana seorang wanita menjadi milik seseorang. Perbudakan akan terhenti dengan pemerdekaan oleh pemiliknya, bukan dengan berlalunya waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak.
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ[52]
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan kurnia-Nya.[53]
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan ayat ini sebagai berikut :
Ini adalah perintah dari Allah bagi mereka yang tidak mampu secara finansial untuk menikah supaya menjaga diri dari perbuatan haram seperti sabda Nabi : wahai sekalian pemuda, barang siapa yang telah mampu bagi kalian hendaknya menikah, karena menikah akan menjaga pandangan dan kemaluan. Barang siapa belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena dengan puasa itu akan menjaga nafsunya.[54]
Ayat ini adalah petunjuk dari Allah bagi mereka yang belum mampu menikah, untuk bersabar dan menjaga diri agar tidak terjerumus ke perbuatan haram. Jika mut'ah adalah jalan keluar bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan pernikahan seperti yang dikenal dalam Islam, tentunya Allah sudah menjelaskan hal itu dalam Al Qur'an. Yaitu dengan penjelasan bahwa bagi mereka yang tidak mampu menikah maka dia hendaknya melakukan mut'ah. Namun yang ada di sini adalah bila tidak mampu menikah maka tidak ada jalan lain kecuali bersabar dan berpuasa, seperti petunjuk Nabi di atas.
Berikut hadits-hadits yang menjadi dasar pengharaman mut'ah.
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ [55]
Ali Ra berkata kepada Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi saw melarang mut'ah dan makan daging keledai jinak pada perang khaibar.
عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا[56]
Dari Iyas bin Salamah dari ayahnya berkata : Rasulullah memperbolehkan nikah mut'ah pada saat perang autas selama tiga hari lalu melarangnya
.
الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا[57]
Dari Rabi' bin Saburah Al Juhani bahwa ayahnya bercerita padanya bahwa dia bersama Nabi saw lalu beliau bersabda : Wahai manusia sesungguhny aku telah mengijinkan kalian untuk nikah mut'ah, dan Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat nanti. Barang siapa sedang nikah mut'ah maka hendaknya pisah dengan istrinya dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan pada mereka.
Jadi pernyataan bahwa nikah mut'ah adalah haram adalah langsung dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak jalan periwayatan. Dalam pembahasan ini tidak semua riwayat kami cantumkan.
Riwayat-riwayat di atas membuat kita bertanya-tanya mengenai masa diharamkannya nikah mut'ah. Mengapa ada dua riwayat yang menerangkan perbedaan waktu pengharaman nikah mut'ah? Imam Nawawi telah menjelaskan dalam penjelasan Sohih Muslim bahwa :
Yang benar adalah pengharaman terjadi dua kali. Nikah mut'ah hukumnya halal sebelum perang khaibar kemudian diharamkan pada perang khaibar. Lalu diijinkan lagi untuk bermut'ah pada masa fathu makkah yaitu pada perang autas, karena perang autas terjadi setelah fathu makkah langsung, lalu setelah 3 hari kemudian diharamkan hingga hari kiamat. [58]
Namun ada riwayat lain dalam kitab sohih muslim yang menerangkan bahwa hingga zaman khalifah Umar bin Khattab masih ada saja beberapa gelintir sahabat yang melakukan mut'ah. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena sahabat yang melakukan nikah mut'ah itu belum mendengar keputusan perubahan hukum nikah mut'ah dari halal menjadi haram. Di antaranya adalah Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan bahwa dia mendengar pengharaman mut'ah dari Umar bin Khattab yang saat itu menjadi khalifah.
عَنْ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بِالْقَبْضَةِ مِنْ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ الْأَيَّامَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ حَتَّى نَهَى عَنْهُ عُمَرُ فِي شَأْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ[59]
Dari Jabir : Kami nikah mut'ah dengan segenggam kurma dan tepung pada zaman Nabi dan Abubakar dan Umar sampai Umar melarang kami karena masalah Amru bin Huraits.
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa Imam Muslim mencantumkan riwayat yang membolehkan dan riwayat yang melarang? Apakah hal itu tidak bisa disebut sebagai kontradiksi antara riwayat yang membolehkan dan riwayat yang melarang? Jawabnya adalah bahwa hal itu merupakan nasakh yang mana hukum yang membolehkan diperbaharui dengan hukum yang melarang. Hal ini lumrah terjadi dalam nas-nas syar'i, di mana sebuah hukum menasakh hukum lain yang terdahulu. Namun hal ini dapat membuat keraguan bagi mereka yang tidak melihat hadits dengan lengkap, dia hanya melihat hadits riwayat Jabir di atas sehingga menimbulkan kesan bahwa yang mengharamkan nikah mut'ah adalah Umar, bukannya Nabi. Pertanyaan itu tidak akan terlontar dari mereka yang melihat seluruh riwayat yang tercantum dalam pembahasan mut'ah. Merupakan metode penulisan hadits yang dianut oleh Imam Muslim dalam penyusunan kitab sohih Muslim, di mana beliau menyebutkan hadits yang membolehkan sesuatu perbuatan lalu diikuti dengan hadits yang menasakh dan memperbaharui hukumnya.
Dalam penjelasan hadits pengharaman mut'ah yang terdapat dalam sohih Muslim di atas, Imam Nawawi mengatakan :
Al Maziri berkata nikah mut'ah dibolehkan pada masa permulaan Islam, lalu hukumnya mansukh dan menjadi haram seperti disebutkan dalam hadits-hadits di atas, dan pengharaman itu menjadi ijma' seluruh ulama. Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini kecuali sebagian ahlul bid'ah yang mendasarkan pendapatnya dengan hadits-hadits yang memperbolehkan nikah mut'ah. Namun hadits-hadits pegangan mereka itu telah mansukh, seperti yang kita terangkan di atas.[60].
Imam Nawawi dalam halaman lain menukil dari Qodhi 'Iyadh :
Qodhi 'Iyad berkata : para ulama telah sepakat bahwa nikah mut'ah adalah pernikahan yang ditentukan hingga batas waktu tertentu dan tidak menyebabkan suami atau istri menerima warisan ketika istri atau suaminya meninggal. Jika sudah sampai batas waktu yang ditentukan maka pernikahan antara keduanya telah selesai dan mereka berdua terpisah tanpa adanya proses talak.[61]
Abu Laits Assamarqondi berkata:
Nikah mut'ah hukumnya haram, bentuknya adalah : aku nikahkan anakku untuk waktu sehari atau sebulan[62]
Imam Assarakhsy salah seorang ulama mazhab hanafi mengatakan :
Telah sampai pada kami bahwa Rasulullah mengijinkan para sahabat untuk nikah mut'ah selama 3 hari dalam sebuah peperangan di mana para sahabat kesusahan karena jauh dari istri-istri mereka. Setelah itu Nabi melarangnya kembali.[63]
Demikianlah perkataan ulama yang menukilkan kesepakatan bahwa nikah mut'ah adalah haram, mengikuti ayat-ayat dan hadits-hadits yang sebelumnya dipaparkan.
3) Nikah mut'ah dalam pandangan syi'ah imamiyah.
Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa hukum nikah mut'ah adalah tetap diperbolehkan dan tidak pernah mansukh. Jadi masih diperbolehkan hingga kelak hari kiamat. Syiah Imamiyah berdalil dengan ucapan Imam mereka yaitu Abu Ja'far, yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali Al Baqir :
1- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ .[64] ك ج 5 ص 448
Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Ja'far Alaihissalam tentang mut'ah. Lalu dia menjawab : Allah telah mewahyukan dalam Al Qur'an Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,[65] (footnote : syiah memahami ayat ini bukan dalam kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut'ah)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَقُولُ كَانَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ بَنِي الْخَطَّابِ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ .[66]
Dari Abdullah bin Sulaiman dia berkata : Aku mendengar Abu Ja'far berkata : Ali bin Abi Thalib berkata : jika anak Khottob tidak mendahului aku, maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.
عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَمَّنْ ذَكَرَهُ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّمَا نَزَلَتْ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً .[67]
Dari Ibnu Abi Umair dari seseorang yang telah memberitahunya, dari Abu Abdullah dia berkata : Ayat yang sebenarnya turun dari Allah adalah " Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka hingga waktu tertentu, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban,
2. Pernikahan menimbulkan akibat hukum bila salah satu dari suami istri meninggal maka suami atau istrinya berhak mendapat warisan
وَلَكُمْ نِصْفُ مَاتَرَكَ أَزْوَاجُكُم[18]ْ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu[19]
3. Hubungan pernikahan terputus dengan talak cerai, fasakh
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْسَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ[20]
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula)[21].
4. Istri yang telah ditalak tiga dilarang rujuk kembali sebelum menikah dengan pria lain.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ [22]
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, ditengkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. [23]
5. Cinta dan kasih sayang adalah pondasi pernikahan
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا[24]
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.[25]
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ[26]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [27]
6. Suami wajib memberi tempat tinggal bagi istri
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ[28]
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu[29]
7. Diharamkan beristri lebih dari empat orang
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا[30]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [31]
8. dilarang menikah dengan wanita yang telah bersuami
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ[32]
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu[33].
9. Dilarang menikah dengan pelacur hingga bertobat
الزَّانِي لاَيَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَيَنكِحُهَآ إِلاَّزَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ[34]
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.[35]
NIKAH MUT’AH ANTARA AHLUSSUNNAH DAN SYI’AH IMAMIYAH
A. DEFINISI AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH DAN SYI’AH IMAMIYAH.
1. Definisi Ahlussunnah Wal Jamaah
1) Definisi Bahasa.
Secara bahasa arti sunnah adalah ajaran atau jalan hidup. Seperti dinukilkan oleh Dr. Nasir Al Qafari dari kitab Misbahul Munir :
Assunnah secara bahasa bermakna ajaran. Arti kata Sunnah adalah ajaran, yang baik maupun yang buruk, bentuk pruralnya adalah sunan.[36]
Dr. Nasir Al Qafari juga menukil dari Lisanul Arab :
Arti kata sunnah adalah : ajaran yang baik dan lurus. Jika ada orang yang berkata bahwa fulan adalah ahlussunnah, maka maksudnya adalah : dia adalah orang yang berpemahaman baik dan lurus.[37]
2) Definisi Istilah.
Yang dimaksud dengan definisi sunnah di sini adalah sunnah sebagai sebuah pola pikir atau sebuah pola keyakinan tertentu. Ibnu Rajab Al Hambali medefinisikan sunnah sebagai berikut :
Sunnah adalah ajaran Nabi dan para sahabat yang terbebas dari kerancuan dan hawa nafsu. Kemudian makna sunnah di kalangan ulama berikutnya dari ahlul hadits dan selain mereka : sebuah julukan atau sebutan bagi ajaran lurus yang terbebas dari kerancuan dalam masalah keyakinan, antara lain khususnya masalah iman pada Allah, Malaikat, Kitab Allah, para Rasul dan hari kiamat. Juga mencakup keimanan pada takdir dan keutamaan sahabat nabi. Para ulama tersebut menulis buku mengenai masalah ini dan mereka memberi judul buku mereka dengan kitabussunnah. Mereka menyebut pembahasan hal ini dengan ilmu sunnah karena urgensinya, dan yang menyimpang dari ajaran ini berada dalam bahaya besar.[38]
Definisi lain dari sunnah adalah :
Ajaran Nabi dan sahabat, baik yang berupa ilmu, keyakinan, perkataan dan perbuatan, inilah sunnah yang harus diikuti, mereka yang mengikutinya dipuji dan yang menyelisihinya adalah tercela. Sunnah juga dijadikan sebutan untuk perkara-perkara yang hukumnya sunnah. Selain itu sunnah juga dijadikan sebutan bagi lawan kata bid’ah,
Sedangkan al jamaah yang secara bahasa berarti sekelompok orang yang berkumpul dan bersepakat atas sesuatu. Dalam kitab lisanul arab disebutkan :
Berasal dari kata Ijtima’, yang artinya adalah lawan kata dari berpecah belah. Makna kata al Jamaah adalah suatu kaum yang berkumpul atau bersepakat atas sebuah perkara.
Sedangkan arti al jamaah secara istilah adalah sahabat, tabi’in dan tabi’uittabi’in serta yang mengikuti mereka hingga hari kiamat, yang mengikuti al qur’an dan sunnah serta para ulama yang mengikuti petunjuk Nabi, sahabat dan tabi’in.
Ahlussunnah wal jamaah adalah mereka yang mengikuti dan berpegang pada sunnah, yaitu para sahabat nabi dan siapa yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Hazm :
Ahlussunnah adalah kelompok yang benar, sedang selain mereka adalah ahlul bid’ah. Mereka adalah sahabat Nabi dan para tabi’in yang mengikuti ajaran sahabat, lalu orang yang mendasarkan ajaran agamanya pada hadits nabi dan siapa saja yang mengikuti ajaran mereka dari golongan fuqoha generasi demi generasi hingga saat ini, serta orang awam yang mengikuti ajaran mereka di seluruh penjuru bumi.[39]
Mengapa mereka disebut sebagai Ahlussunnah? Ibnu Taimiyyah menjawab pertanyaan ini sebagai berikut :
Mereka dijuluki sebagai Ahlussunnah karena mereka mengikuti sunnah Nabi sallallahu alaihi wasallam.
Abul Muzaffar Al Isfirayiini menjelaskan pada kita tentang sebab penjulukan ahlussunnah :
Dalam ummat Islam tidak ada kelompok atau sekte yang paling berpegang teguh dan mengikuti berita-berita yang datang dari Nabi dan sunnahnya daripada mereka, oleh karena itu mereka dijuluki sebagai ahlussunnah. Ketika Nabi ditanya tentang golongan yang selamat, Nabi menjawab : mereka yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku. Ciri-ciri ini terdapat pada Ahlussunnah, karena mereka menjadikan ajaran Nabi dan sahabat sebagai pedoman dalam beragama. Sedangkan kelompok yang mencela sahabat seperti khawarij dan rawafidh maka tidak termasuk ahlussunnah.[40]
Ahlussunnah wal jamaah juga disebut dengan al jamaah, tanpa menggunakan kata ahlussunnah, karena salah satu definisi al jamaah adalah prinsip-prinsip ahlussunnah itu sendiri, seperti kata sahabat Ibnu Mas’ud :
Al Jamaah adalah mendahulukan Abubakar, Umar, Usman dan Ali,serta tidak mencela salah satu dari sahabat Nabi, tidak menganggap manusia keluar dari Islam hanya karena dosa besar, sholat menjadi makmum siapa saja yang mengucapkan La Ilaha Illallah......
Kita lihat di atas jelas bahwa hal-hal yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud adalah beberapa hal yang membedakan ahlussunnah
wal jamaah dengan selain mereka.
2. Definisi Syiah Imamiyah
1) Definisi Bahasa
Secara pengertian bahasa arab, kata Syi'ah berarti penolong, kelompok yang berkumpul dalam sesuatu perkara, atau berkumpul dalam menolong seseorang. Dalam kitab Tajul Arus disebutkan :
Setiap kaum yang menyepakati sebuah perkara maka disebut syiah.. seluruh yang menolong seseorang dan berkelompok menolong seseorang itu maka mereka dalah syiah orang itu[41]
2) Definisi Istilah
Secara istilah syiah adalah mereka yang meyakini bahwa Ali adalah sahabat terbaik setelah Rasulullah, dan meyakini bahwa Ali adalah satu-satunya yang berhak menjadi khalifah setelah nabi dan diikuti oleh anak cucunya. Mereka yang meyakini hal ini mendasarkan keyakinannya bawha Nabi telah menunjuk Ali dan 11 orang anak cucunya menjadi imam setelah Nabi wafat. Mereka yang percaya pada Imamah inilah yang disebut sebagai Syi'ah Imamiyah. Al Mufid, salah seorang ulama syiah mengatakan :
Julukan syiah disematkan bagi para pengikut Ali yang meyakini Ali adalah imam setelah Nabi yang langsung menggantikan posisi Nabi, dan menafikan kepemimpinan mereka yang menjabat khilafah setelah nabi[42]. (Awailul Maqolat hal 39)
Inilah ciri pembeda antara syiah dan kelompok selain mereka, yaitu keyakinan bahwa Ali adalah imam pengganti sepeninggal Nabi.
B. NIKAH MUT'AH MENURUT AHLUSSUNNAH DAN SYIAH
1. Definisi Nikah Mut'ah
1) Terminologi Bahasa Arab
Asal kata mut'ah dalam bahasa arab adalah dari akar kata mata'a, yang mengarah pada makna bersenang-senang dan memanfaatkan.
Kamus Al Munjid menerangkan arti kata mata' sebagai berikut :
Al Mata', bentuk pruralnya adalah al amti'ah, sedang bentuk jam'ul jama'nya adalah amati' dan amatii'. Seluruh yang dimanfaatkan dari perhiasan dunia baik sedikit maupun banyak. ... tamatta'a atau istamta'a : memanfaatkan sesuatu dalam waktu yang lama. AlMunjid hal 746
2) Definisi Istilah
Sedangkan yang dimaksud dengan nikah mut'ah dalam pembahasan kali ini adalah pernikahan yang ditentukan sampai waktu tertentu, yang mana setelah waktu yang ditentukan habis selesailah pernikahan itu. Imam Syafi'i berkata :
Nikah mut'ah yang dilarang adalah seluruh bentuk pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu, baik waktu itu sebentar maupun lama. [43].
Abu Laits Assamarqondi berkata: Nikah mut'ah hukumnya haram, bentuknya adalah : aku nikahkan anakku untuk waktu sehari atau sebulan[44]
Imam Nawawi dalam al majmu' syarah muhazzab berkata : Nikah Mut'ah adalah seperti bentuk demikian : Aku nikahkan kamu dengan anakku selama sehari atau sebulan, yaitu pernikahan yang ditentukan hingga waktu tertentu. Jika waktu yang ditentukan telah selesai maka selesailah pernikahan itu.
Ibnu Dhawayyan berkata :
yaitu menikahkan anaknya hingga batas waktu tertentu, dan mensyaratkan bahwa setelah jangka waktu selesai maka tercerailah suami istri itu.[45]
Dari penjelasan tentang arti nikah mut'ah di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa nikah mut'ah adalah bentuk pernikahan yang selesai bila waktu yang disepakati telah tiba. Setelah waktunya tiba, kedua suami istri akan terpisah tanpa ada proses perceraian sebagaimana pernikahan yang dikenal dalam Islam.
2. Nikah Mut'ah dalam Pandangan Ahlussunnah
Ahlussunnah wal jamaah berpendapat bahwa nikah mut'ah pernah dihalalkan sebelum kemudian hukum halal itu mansukh dan menjadi haram sampai hari kiamat. Dasar pijakan ahlussunnah wal jamaah adalah ayat dan hadits sebagai berikut :
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّامَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ[46]...
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..[47].
Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dalam tafsirnya :
Barang siapa yang belum mampu menikahi wanita muslimah merdeka yang menjaga kesuciannya maka nikahilah budak wanita yang beragama Islam...[48]
Jika memang nikah mut'ah diperbolehkan pasti telah disebutkan oleh Allah sebagai alternatif bagi mereka yang tidak mampu menikah secara finansial. Sedangkan dari segi finansial nikah mut'ah tidaklah semahal pengeluaran yang ditimbulkan oleh nikah yang dikenal dalam Islam.
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلاَّعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْمَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ [49]
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.)[50]
Ibnu Katsir menerangkan makna ayat ini :
Yaitu mereka yang menjaga kemaluan mereka dari perbuatan haram, mereka tidak melakukan perbuatan yang diharamkan Allah yaitu perbuatan zina dan hubungan sejenis, mereka hanya menggauli istri dan budak mereka yang mana telah dihalalkan oleh Allah bagi mereka. Barang siapa melakukan perbuatan yang dihalalkan Allah maka dia tidak dicela lagi berdosa.[51]
Allah menerangkan sifat orang beriman bahwa mereka menjaga kemaluan mereka dari berzina. Namun diberikan oleh Allah jalan keluar yaitu dengan menikah atau memiliki budak. Jika nikah mut'ah menjadi jalan keluar yang benar pasti disebutkan oleh Allah sebagai tempat penyaluran nafsu syahwat yang diperbolehkan di sini. Nikah mut'ah jelas berbeda dengan pernikahan biasa dan perbudakan. Nikah mut'ah adalah bentuk pernikahan yang selesai dengan sampai waktu yang disepakati kedua pihak. Sementara ikatan pernikahan yang dikenal dalam Islam tidak terlepas dengan berlalunya waktu, namun dengan perceraian. Mut'ah juga tidak sama dengan perbudakan, karena perbudakan adalah status dimana seorang wanita menjadi milik seseorang. Perbudakan akan terhenti dengan pemerdekaan oleh pemiliknya, bukan dengan berlalunya waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak.
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لاَيَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ[52]
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan kurnia-Nya.[53]
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan ayat ini sebagai berikut :
Ini adalah perintah dari Allah bagi mereka yang tidak mampu secara finansial untuk menikah supaya menjaga diri dari perbuatan haram seperti sabda Nabi : wahai sekalian pemuda, barang siapa yang telah mampu bagi kalian hendaknya menikah, karena menikah akan menjaga pandangan dan kemaluan. Barang siapa belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena dengan puasa itu akan menjaga nafsunya.[54]
Ayat ini adalah petunjuk dari Allah bagi mereka yang belum mampu menikah, untuk bersabar dan menjaga diri agar tidak terjerumus ke perbuatan haram. Jika mut'ah adalah jalan keluar bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan pernikahan seperti yang dikenal dalam Islam, tentunya Allah sudah menjelaskan hal itu dalam Al Qur'an. Yaitu dengan penjelasan bahwa bagi mereka yang tidak mampu menikah maka dia hendaknya melakukan mut'ah. Namun yang ada di sini adalah bila tidak mampu menikah maka tidak ada jalan lain kecuali bersabar dan berpuasa, seperti petunjuk Nabi di atas.
Berikut hadits-hadits yang menjadi dasar pengharaman mut'ah.
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ [55]
Ali Ra berkata kepada Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi saw melarang mut'ah dan makan daging keledai jinak pada perang khaibar.
عَنْ إِيَاسِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا[56]
Dari Iyas bin Salamah dari ayahnya berkata : Rasulullah memperbolehkan nikah mut'ah pada saat perang autas selama tiga hari lalu melarangnya
.
الرَّبِيعُ بْنُ سَبْرَةَ الْجُهَنِيُّ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا[57]
Dari Rabi' bin Saburah Al Juhani bahwa ayahnya bercerita padanya bahwa dia bersama Nabi saw lalu beliau bersabda : Wahai manusia sesungguhny aku telah mengijinkan kalian untuk nikah mut'ah, dan Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat nanti. Barang siapa sedang nikah mut'ah maka hendaknya pisah dengan istrinya dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan pada mereka.
Jadi pernyataan bahwa nikah mut'ah adalah haram adalah langsung dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak jalan periwayatan. Dalam pembahasan ini tidak semua riwayat kami cantumkan.
Riwayat-riwayat di atas membuat kita bertanya-tanya mengenai masa diharamkannya nikah mut'ah. Mengapa ada dua riwayat yang menerangkan perbedaan waktu pengharaman nikah mut'ah? Imam Nawawi telah menjelaskan dalam penjelasan Sohih Muslim bahwa :
Yang benar adalah pengharaman terjadi dua kali. Nikah mut'ah hukumnya halal sebelum perang khaibar kemudian diharamkan pada perang khaibar. Lalu diijinkan lagi untuk bermut'ah pada masa fathu makkah yaitu pada perang autas, karena perang autas terjadi setelah fathu makkah langsung, lalu setelah 3 hari kemudian diharamkan hingga hari kiamat. [58]
Namun ada riwayat lain dalam kitab sohih muslim yang menerangkan bahwa hingga zaman khalifah Umar bin Khattab masih ada saja beberapa gelintir sahabat yang melakukan mut'ah. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena sahabat yang melakukan nikah mut'ah itu belum mendengar keputusan perubahan hukum nikah mut'ah dari halal menjadi haram. Di antaranya adalah Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan bahwa dia mendengar pengharaman mut'ah dari Umar bin Khattab yang saat itu menjadi khalifah.
عَنْ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بِالْقَبْضَةِ مِنْ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ الْأَيَّامَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ حَتَّى نَهَى عَنْهُ عُمَرُ فِي شَأْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ[59]
Dari Jabir : Kami nikah mut'ah dengan segenggam kurma dan tepung pada zaman Nabi dan Abubakar dan Umar sampai Umar melarang kami karena masalah Amru bin Huraits.
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa Imam Muslim mencantumkan riwayat yang membolehkan dan riwayat yang melarang? Apakah hal itu tidak bisa disebut sebagai kontradiksi antara riwayat yang membolehkan dan riwayat yang melarang? Jawabnya adalah bahwa hal itu merupakan nasakh yang mana hukum yang membolehkan diperbaharui dengan hukum yang melarang. Hal ini lumrah terjadi dalam nas-nas syar'i, di mana sebuah hukum menasakh hukum lain yang terdahulu. Namun hal ini dapat membuat keraguan bagi mereka yang tidak melihat hadits dengan lengkap, dia hanya melihat hadits riwayat Jabir di atas sehingga menimbulkan kesan bahwa yang mengharamkan nikah mut'ah adalah Umar, bukannya Nabi. Pertanyaan itu tidak akan terlontar dari mereka yang melihat seluruh riwayat yang tercantum dalam pembahasan mut'ah. Merupakan metode penulisan hadits yang dianut oleh Imam Muslim dalam penyusunan kitab sohih Muslim, di mana beliau menyebutkan hadits yang membolehkan sesuatu perbuatan lalu diikuti dengan hadits yang menasakh dan memperbaharui hukumnya.
Dalam penjelasan hadits pengharaman mut'ah yang terdapat dalam sohih Muslim di atas, Imam Nawawi mengatakan :
Al Maziri berkata nikah mut'ah dibolehkan pada masa permulaan Islam, lalu hukumnya mansukh dan menjadi haram seperti disebutkan dalam hadits-hadits di atas, dan pengharaman itu menjadi ijma' seluruh ulama. Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini kecuali sebagian ahlul bid'ah yang mendasarkan pendapatnya dengan hadits-hadits yang memperbolehkan nikah mut'ah. Namun hadits-hadits pegangan mereka itu telah mansukh, seperti yang kita terangkan di atas.[60].
Imam Nawawi dalam halaman lain menukil dari Qodhi 'Iyadh :
Qodhi 'Iyad berkata : para ulama telah sepakat bahwa nikah mut'ah adalah pernikahan yang ditentukan hingga batas waktu tertentu dan tidak menyebabkan suami atau istri menerima warisan ketika istri atau suaminya meninggal. Jika sudah sampai batas waktu yang ditentukan maka pernikahan antara keduanya telah selesai dan mereka berdua terpisah tanpa adanya proses talak.[61]
Abu Laits Assamarqondi berkata:
Nikah mut'ah hukumnya haram, bentuknya adalah : aku nikahkan anakku untuk waktu sehari atau sebulan[62]
Imam Assarakhsy salah seorang ulama mazhab hanafi mengatakan :
Telah sampai pada kami bahwa Rasulullah mengijinkan para sahabat untuk nikah mut'ah selama 3 hari dalam sebuah peperangan di mana para sahabat kesusahan karena jauh dari istri-istri mereka. Setelah itu Nabi melarangnya kembali.[63]
Demikianlah perkataan ulama yang menukilkan kesepakatan bahwa nikah mut'ah adalah haram, mengikuti ayat-ayat dan hadits-hadits yang sebelumnya dipaparkan.
3) Nikah mut'ah dalam pandangan syi'ah imamiyah.
Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa hukum nikah mut'ah adalah tetap diperbolehkan dan tidak pernah mansukh. Jadi masih diperbolehkan hingga kelak hari kiamat. Syiah Imamiyah berdalil dengan ucapan Imam mereka yaitu Abu Ja'far, yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali Al Baqir :
1- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ أَبِي نَجْرَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ .[64] ك ج 5 ص 448
Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Ja'far Alaihissalam tentang mut'ah. Lalu dia menjawab : Allah telah mewahyukan dalam Al Qur'an Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,[65] (footnote : syiah memahami ayat ini bukan dalam kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut'ah)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَقُولُ كَانَ عَلِيٌّ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ بَنِي الْخَطَّابِ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ .[66]
Dari Abdullah bin Sulaiman dia berkata : Aku mendengar Abu Ja'far berkata : Ali bin Abi Thalib berkata : jika anak Khottob tidak mendahului aku, maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka.
عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَمَّنْ ذَكَرَهُ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّمَا نَزَلَتْ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً .[67]
Dari Ibnu Abi Umair dari seseorang yang telah memberitahunya, dari Abu Abdullah dia berkata : Ayat yang sebenarnya turun dari Allah adalah " Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka hingga waktu tertentu, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban,
عَلِيٌّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ أُذَيْنَةَ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَيْرٍ اللَّيْثِيُّ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) فَقَالَ لَهُ مَا تَقُولُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ أَحَلَّهَا اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فَهِيَ حَلَالٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَقَالَ يَا أَبَا جَعْفَرٍ مِثْلُكَ يَقُولُ هَذَا وَ قَدْ حَرَّمَهَا عُمَرُ وَ نَهَى عَنْهَا فَقَالَ وَ إِنْ كَانَ فَعَلَ قَالَ إِنِّي أُعِيذُكَ بِاللَّهِ مِنْ ذَلِكَ أَنْ تُحِلَّ شَيْئاً حَرَّمَهُ عُمَرُ قَالَ فَقَالَ لَهُ فَأَنْتَ عَلَى قَوْلِ صَاحِبِكَ وَ أَنَا عَلَى قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) فَهَلُمَّ أُلَاعِنْكَ أَنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) وَ أَنَّ الْبَاطِلَ مَا قَالَ صَاحِبُكَ قَالَ فَأَقْبَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَيْرٍ فَقَالَ يَسُرُّكَ أَنَّ نِسَاءَكَ وَ بَنَاتِكَ وَ أَخَوَاتِكَ وَ بَنَاتِ عَمِّكَ يَفْعَلْنَ قَالَ فَأَعْرَضَ عَنْهُ أَبُو جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) حِينَ ذَكَرَ نِسَاءَهُ وَ بَنَاتِ عَمِّهِ .
Dari Zurarah dia berkata : Abdullah bin Umair Allaithy pada Abu Ja'far, lalu dia bertanya : apa pendapat anda tentang nikah mut'ah? Lalu Abu Ja'far menjawab : telah dihalalkan oleh Allah dalam Al Qur'an dan melalui lisan RasulNya, maka hukumnya tetap halal hingga hari kiamat. Lalu dia bertanya : Wahai Abu Ja'far apakah orang seperti anda mengatakan hal ini sedangkan umar telah melarang dan mengharamkan mut'ah? Lalu Abu Ja'far mengatakan : walaupun telah dilarang oleh Umar. Dia berkata : Aku memohon pada Allah agar anda dijauhkan dari menghalalkan perkara yang telah diharamkan oleh Umar. Lalu Abu Ja''far berkata : engkau memegang pendapat kawanmu, dan aku memegang hadits Nabi, mari kita memohon laknat dari Allah bahwa yang benar adalah apa yang diucapkan Rasulullah dan omongan kawanmu adalah batil. Lalu Abu Umair mengatakan pada Abu Ja'far : Apakah anda suka jika istri anda, anak wanita anda, saudara wanita anda dan anak wanita paman anda dinikahi secara mut'ah? Lalu Abu Ja'far berpaling ketika disebut istrinya dan anak pamannya.
Nikah mut'ah adalah halal tapi Imam Abu Ja'far sendiri tidak senang jika ada orang yang menikahi anaknya atau anak pamannya dengan nikah mut'ah. Yang mengharamkan nikah mut'ah adalah Umar, yang berani-beraninya mengharamkan perbuatan yang dihalalkan oleh Nabi. Sampai Imam Abu Ja'far berani bermula'anah, memohon laknat dari Allah jika pendapatnya salah.
Ahlussunnah sepakat bahwa nikah mut'ah haram hukumnya, maka tidak akan anda temukan dalam kitab fiqih ulama ahlussunnah mana pun penjelasan tentang cara-cara mut'ah dan pekara-perkara yang berkaitan dengan mut'ah. Karena keyakinan syi'ah Imamiyah atas dibolehkannya mut'ah, maka dalam kitab-kitab mereka tercantum penjelasan mengenai nikah mut'ah. Berikut ini kami paparkan sebagian penjelasan yang ada dalam kitab-kitab ulama syiah megenai mut'ah.
1. Nikah Mut'ah adalah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat.
Nikah mut'ah adalah halal tapi Imam Abu Ja'far sendiri tidak senang jika ada orang yang menikahi anaknya atau anak pamannya dengan nikah mut'ah. Yang mengharamkan nikah mut'ah adalah Umar, yang berani-beraninya mengharamkan perbuatan yang dihalalkan oleh Nabi. Sampai Imam Abu Ja'far berani bermula'anah, memohon laknat dari Allah jika pendapatnya salah.
Ahlussunnah sepakat bahwa nikah mut'ah haram hukumnya, maka tidak akan anda temukan dalam kitab fiqih ulama ahlussunnah mana pun penjelasan tentang cara-cara mut'ah dan pekara-perkara yang berkaitan dengan mut'ah. Karena keyakinan syi'ah Imamiyah atas dibolehkannya mut'ah, maka dalam kitab-kitab mereka tercantum penjelasan mengenai nikah mut'ah. Berikut ini kami paparkan sebagian penjelasan yang ada dalam kitab-kitab ulama syiah megenai mut'ah.
1. Nikah Mut'ah adalah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat.
الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ( عليه السلام ) عَنِ الْمُتْعَةِ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ لَا
[69].
Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata :aku bertanya kepada Abu Hasan tentang mut'ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi 4 istri? Dia menjawab tidak.
Wanita yang dinikahi secara mut'ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut'ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri.
Wanita yang dinikahi secara mut'ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut'ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri.
7- الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ تَزَوَّجْ مِنْهُنَّ أَلْفاً فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتٌ
[70].
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan
2. Syarat Utama Nikah Mut'ah
Dalam nikah mut'ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut'ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut'ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam
- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ جَمِيلِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى [71].
Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu.
3. Batas minimal mahar mut'ah
Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut'ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut'ah?
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنْ أَدْنَى مَهْرِ الْمُتْعَةِ مَا هُوَ قَالَ كَفٌّ مِنْ طَعَامٍ دَقِيقٍ أَوْ سَوِيقٍ أَوْ تَمْرٍ .[72]
الكافي ج 5 ص 457
Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut'ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut'ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma.
4. Tidak ada talak dalam mut'ah
dalam nikah mut'ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut'ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut'ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut'ah selain kesepakatan atas mahar.
3- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ[73]
Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak.
5. Jangka waktu minimal mut'ah.
Dalam nikah mut'ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja bersepakat nikah mut'ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.
عَنْ خَلَفِ بْنِ حَمَّادٍ قَالَ أَرْسَلْتُ إِلَى أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) كَمْ أَدْنَى أَجَلِ الْمُتْعَةِ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِشَرْطِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ قَالَ نَعَمْ .[74]
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya
Orang yang melakukan nikah mut'ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut'ah atas sekali hubungan suami istri? Yang mana setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah sebelum keduanya pergi.
ع أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ عَلَى عَرْدٍ وَاحِدٍ فَقَالَ لَا بَأْسَ وَ لَكِنْ إِذَا فَرَغَ فَلْيُحَوِّلْ وَجْهَهُ وَ لَا يَنْظُرْ [75]
Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : " tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya".
6. Nikah mut'ah berkali-kali tanpa batas.
Diperbolehkan nikah mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja'far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut'ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Disini dipergunakan analogi sewaan, yang mana seseorang diperbolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.
1- عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ جُعِلْتُ فِدَاكَ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ [76].
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.
7. Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.
Wanita yang dinikah mut'ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.
292
3- عَنْ عُمَرَ بْنِ حَنْظَلَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ أَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ شَهْراً فَأَحْبِسُ عَنْهَا شَيْئاً قَالَ نَعَمْ خُذْ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا تُخْلِفُكَ إِنْ كَانَ نِصْفَ شَهْرٍ فَالنِّصْفَ وَ إِنْ كَانَ ثُلُثاً فَالثُّلُثَ[77] . ك ج 5 ص 461
Dari Umar bin Handholah dia bertanya pada Abu Abdullah : aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya
8. Jika ternyata wanita yang dimut'ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut'ah tidak terputus dengan sendirinya.
Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut'ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.
1- عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي بَعْضِ الطُّرُقَاتِ فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا عَلَيْكَ أَنْ تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا [78].
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.
Ayatollah Ali Al Sistani berkata :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah[79]
9. Nikah mut'ah dengan gadis
2- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ وَ عَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ زِيَادِ بْنِ أَبِي الْحَلَّالِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَا بَأْسَ بِأَنْ يَتَمَتَّعَ بِالْبِكْرِ مَا لَمْ يُفْضِ إِلَيْهَا مَخَافَةَ كَرَاهِيَةِ الْعَيْبِ عَلَى أَهْلِهَا[80] ك ج 5 ص 462
Dari ziyad bin abil halal berkata : aku mendengar Abu Abdullah berkata tidak mengapa bermut'ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya.
10. Nikah mut'ah dengan pelacur
Diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.
Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 261 : diperbolehkan menikah mut'ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut'ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.[81]
11. Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut'ah
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ ع قال: قُلْتُ لَهُ: (لِلْمُتَمَتِّعِ ثَوَابٌ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالىَ وَخِلاَفًا عَلىَ مَنْ أَنْكَرَهَا لَمْ يُكَلِّمْهَا كَلِمَةً إِلاَّ كَتَبَ اللهُ تَعَالىَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، وَلَمْ يَمُدْ يَدَهُ إِلَيْهَا إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لهُ حَسَنَةً، فَإِذَا دَنَا مِنْهَا غَفَرَ اللهُ تَعَالَى لَهُ بِذَلِكَ ذَنْبًا، فَإِذَا اغْتَسَلَ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِقَدْرِ مَا مَرََََََََََََََّ مِنَ الْمَاءِ عَلىَ شَعْرِهِ، قُلْتُ: بِعَدَدِ الشَّعْرِ؟ قَالَ: نَعَمْ بِعَدَدِ الشَّعْرِ))[82]. فقيه ج 3 ص 464
Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut'ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya : Ya, sebanyak jumlah rambut.
4601 - وَقَالَ أَبُوْجَعْفَرٍ ع: (إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ لَمَّا اُسْرِيَ بِهِ إِلىَ السَّمَاءِ قَالَ: لَحِقَنِيْ جِبْرِئِيْل عليه السلام فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ: إِنِّي قََََََََدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِيْنَ مِنَ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ)[83].
Abu Ja'far berkata "ketika Nabi sedang isra' ke langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, Allah berfirman : Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut'ah
11. hubungan warisan
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini[84].
12. Nafkah
Wanita yang dinikah mut'ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat[85]
KOMPARASI NIKAH MUT'AH DAN NIKAH ISLAMI
Berikut ini perbandingan antara nikah mut'ah dan nikah yang dikenal dalam Islam, berdasar penjelasan mengenai nikah mut'ah dalam pandangan syi'ah imamiyah.
1. Status wanita
Dalam pernikahan yang dikenal dalam islam, status istri hanya dari dua golongan, yaitu istri dari wanita merdeka atau budak.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ[86]
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu [87]
Sementara dalam nikah mut'ah status wanita hanyalah sebagai wanita sewaan.
- الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ تَزَوَّجْ مِنْهُنَّ أَلْفاً فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتٌ[88]
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan
2. Warisan
Dalam pernikahan yang lazim dilakukan, seorang istri berhak mendapat warisan suaminya jika suami meninggal dalam ikatan pernikahan dengan istri, Disepakati ataupun tidak.
وَلَكُمْ نِصْفُ مَاتَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ[89]
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu[90]
Dalam nikah mut'ah seorang istri tidak berhak mendapat warisan dari suaminya, kecuali dengan kesepakatan.
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. [91]
3. Putusnya hubungan pernikahan
Dalam pernikahan yang dikenal dalam Islam, hubungan pernikahan terputus dengan perceraian/talak, khulu'/cerai gugat, fasakh/pembatalan perkawinan atau pemisahan oleh hakim syar'i. Suami diberi kesempatan untuk menalak istrinya dua kali, dan talak pun ada yang raj'i/berkesempatan untuk kembali dan ba'in, yaitu tidak boleh rujuk lagi kecuali setelah si istri menikah dengan orang lain dan bergaul.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْسَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ[92]
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).[93]
Dalam nikah mut'ah hubungan pernikahan selesai dengan selesainya waktu yang disepakati atau dengan suami yang merelakan bagian harinya dan tidak ada talak.
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ[94]
Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak.
4 Istri yang tertalak tiga
Jika seorang istri ditalak tiga kali oleh suami maka mereka boleh boleh menikah kembali setelah si istri menikah dengan laki-laki lain.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ[95]
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, ditengkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui[96]
Istri yang ditalak tiga kali dan telah menikah mut'ah maka belum dapat menikah dengan laki-laki lain, sebelum menikah dengan nikah yang lazim bagi orang Islam.
- عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ جُعِلْتُ فِدَاكَ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ[97]
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.
5. Cinta dan kasih sayang
Dalam pernikahan yang lazim, cinta dan kasih sayang merupakan salah satu tujuan dan menjadi akibat pernikahan.
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا[98]
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.[99]
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ[100]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.[101]
Dalam mut'ah tidak terdapat cinta dan kasih sayang karena dalam bermut'ah yang terpenting adalah kesepakatan atas waktu walaupun waktu yang disepakati adalah untuk sekali hubungan suami istri. Jika mereka berdua menyepakati waktu mut'ah untuk dua hari, Tentunya cinta dan kasih sayang yang ada pada suami istri akan layu sebelum berkembang, karena setelah lewat waktu dua hari, mereka berdua sudah bukan muhrim lagi.
مُحَمَّدٌ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ خَلَفِ بْنِ حَمَّادٍ قَالَ أَرْسَلْتُ إِلَى أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) كَمْ أَدْنَى أَجَلِ الْمُتْعَةِ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِشَرْطِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ قَالَ نَعَمْ .[102]
Dari khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya
6. Poligami
Dalam pernikahan yang lazim, poligami diperbolehkan sampai batas maksimal 4 orang istri.
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا[103]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [104]
Sementara dalam nikah mut'ah diperbolehkan menikah mut'ah dengan lebih dari empat istri sekaligus, meskipun dia sudah memiliki 4 orang istri dari pernikahan yang lazim.
7- الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ تَزَوَّجْ مِنْهُنَّ أَلْفاً فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتٌ
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan
7. Menikahi wanita bersuami
Dalam Islam dilarang menikah dengan wanita yang sedang bersuami.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ[105]
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.[106]
Dalam mut'ah tidak perlu bertanya apakah wanita itu bersuami atau tidak. Jika dia ditanya lalu berbohong maka perkataannya tetap dipercaya. Jika ternyata wanita itu bersuami maka nikah mut'ah tidak otomatis batal.
عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي بَعْضِ الطُّرُقَاتِ فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا عَلَيْكَ أَنْ تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا [107].
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.
8.Menikah dengan pelacur
Al Qur'an melarang kita menikah dengan pelacur.
الزَّانِي لاَيَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَيَنكِحُهَآ إِلاَّزَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ[108]
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.[109]
Diperbolehkan nikah mut'ah dengan pelacur. Ayatollah Ali Al Sistani berkata :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah[110]
B. SANGGAHAN TERHADAP DASAR LEGALITAS MUT'AH
Setelah sedikit memperoleh gambaran tentang mut'ah, sedikit banyak kita dapat menganalisa bagaimana sebenarnya nikah mut'ah ini tidak sesuai dengan fitrah manusia yang telah digariskan oleh Allah. Karena fitrah manusia yang lurus menghendaki penikahan yang membawa ketentraman bagi kehidupannya. Ketenangan dan kehidupan yang tentram ini tidak akan didapat dalam nikah mut'ah, karena tujuan mut'ah adalah untuk memuaskan syahwat semata. Namun kita melihat bahwa syi'ah imamiyah mendasarkan pendapat mereka pada dalil syar'i, yaitu Al Qur'an. Tapi marilah kita bertanya pada benak kita masing-masing, apakah mungkin Al Qur'an memperbolehkan bentuk pernikahan dengan bentuk seperti mut'ah pada syiah imamiyah? Apakah dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar memperbolehkan nikah mut'ah?
Dalil yang sering diajukan adalah potongan ayat surat Annisa' ayat 24 :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً...[111] …..
Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…[112]
Jika kita membaca ayat itu sekilas, maka akan nampak jelas bahwa ayat itu menunjukkan kewajiban membayar ongkos bagi wanita yang dimut'ah/dinikmati. Tapi baiknya kita telusuri lagi ayat ini secara lengkap dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang ternyata membahas topik pernikahan yang tak ada hubungannya dengan nikah mut'ah ala syi'ah imamiyah.
2. Syarat Utama Nikah Mut'ah
Dalam nikah mut'ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut'ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut'ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam
- عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ جَمِيلِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى [71].
Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu.
3. Batas minimal mahar mut'ah
Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut'ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut'ah?
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنْ أَدْنَى مَهْرِ الْمُتْعَةِ مَا هُوَ قَالَ كَفٌّ مِنْ طَعَامٍ دَقِيقٍ أَوْ سَوِيقٍ أَوْ تَمْرٍ .[72]
الكافي ج 5 ص 457
Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut'ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut'ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma.
4. Tidak ada talak dalam mut'ah
dalam nikah mut'ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut'ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut'ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut'ah selain kesepakatan atas mahar.
3- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ[73]
Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak.
5. Jangka waktu minimal mut'ah.
Dalam nikah mut'ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja bersepakat nikah mut'ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.
عَنْ خَلَفِ بْنِ حَمَّادٍ قَالَ أَرْسَلْتُ إِلَى أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) كَمْ أَدْنَى أَجَلِ الْمُتْعَةِ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِشَرْطِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ قَالَ نَعَمْ .[74]
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya
Orang yang melakukan nikah mut'ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut'ah atas sekali hubungan suami istri? Yang mana setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah sebelum keduanya pergi.
ع أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) عَنِ الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ عَلَى عَرْدٍ وَاحِدٍ فَقَالَ لَا بَأْسَ وَ لَكِنْ إِذَا فَرَغَ فَلْيُحَوِّلْ وَجْهَهُ وَ لَا يَنْظُرْ [75]
Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : " tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya".
6. Nikah mut'ah berkali-kali tanpa batas.
Diperbolehkan nikah mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja'far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut'ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Disini dipergunakan analogi sewaan, yang mana seseorang diperbolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.
1- عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ جُعِلْتُ فِدَاكَ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ [76].
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.
7. Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati.
Wanita yang dinikah mut'ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.
292
3- عَنْ عُمَرَ بْنِ حَنْظَلَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ أَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ شَهْراً فَأَحْبِسُ عَنْهَا شَيْئاً قَالَ نَعَمْ خُذْ مِنْهَا بِقَدْرِ مَا تُخْلِفُكَ إِنْ كَانَ نِصْفَ شَهْرٍ فَالنِّصْفَ وَ إِنْ كَانَ ثُلُثاً فَالثُّلُثَ[77] . ك ج 5 ص 461
Dari Umar bin Handholah dia bertanya pada Abu Abdullah : aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya
8. Jika ternyata wanita yang dimut'ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut'ah tidak terputus dengan sendirinya.
Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut'ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.
1- عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي بَعْضِ الطُّرُقَاتِ فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا عَلَيْكَ أَنْ تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا [78].
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.
Ayatollah Ali Al Sistani berkata :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah[79]
9. Nikah mut'ah dengan gadis
2- مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ وَ عَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ زِيَادِ بْنِ أَبِي الْحَلَّالِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَقُولُ لَا بَأْسَ بِأَنْ يَتَمَتَّعَ بِالْبِكْرِ مَا لَمْ يُفْضِ إِلَيْهَا مَخَافَةَ كَرَاهِيَةِ الْعَيْبِ عَلَى أَهْلِهَا[80] ك ج 5 ص 462
Dari ziyad bin abil halal berkata : aku mendengar Abu Abdullah berkata tidak mengapa bermut'ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya.
10. Nikah mut'ah dengan pelacur
Diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.
Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan :
Masalah 261 : diperbolehkan menikah mut'ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut'ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.[81]
11. Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut'ah
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ ع قال: قُلْتُ لَهُ: (لِلْمُتَمَتِّعِ ثَوَابٌ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالىَ وَخِلاَفًا عَلىَ مَنْ أَنْكَرَهَا لَمْ يُكَلِّمْهَا كَلِمَةً إِلاَّ كَتَبَ اللهُ تَعَالىَ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، وَلَمْ يَمُدْ يَدَهُ إِلَيْهَا إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لهُ حَسَنَةً، فَإِذَا دَنَا مِنْهَا غَفَرَ اللهُ تَعَالَى لَهُ بِذَلِكَ ذَنْبًا، فَإِذَا اغْتَسَلَ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِقَدْرِ مَا مَرََََََََََََََّ مِنَ الْمَاءِ عَلىَ شَعْرِهِ، قُلْتُ: بِعَدَدِ الشَّعْرِ؟ قَالَ: نَعَمْ بِعَدَدِ الشَّعْرِ))[82]. فقيه ج 3 ص 464
Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut'ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya : Ya, sebanyak jumlah rambut.
4601 - وَقَالَ أَبُوْجَعْفَرٍ ع: (إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ لَمَّا اُسْرِيَ بِهِ إِلىَ السَّمَاءِ قَالَ: لَحِقَنِيْ جِبْرِئِيْل عليه السلام فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ: إِنِّي قََََََََدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِيْنَ مِنَ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ)[83].
Abu Ja'far berkata "ketika Nabi sedang isra' ke langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, Allah berfirman : Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut'ah
11. hubungan warisan
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini[84].
12. Nafkah
Wanita yang dinikah mut'ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat[85]
KOMPARASI NIKAH MUT'AH DAN NIKAH ISLAMI
Berikut ini perbandingan antara nikah mut'ah dan nikah yang dikenal dalam Islam, berdasar penjelasan mengenai nikah mut'ah dalam pandangan syi'ah imamiyah.
1. Status wanita
Dalam pernikahan yang dikenal dalam islam, status istri hanya dari dua golongan, yaitu istri dari wanita merdeka atau budak.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ[86]
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu [87]
Sementara dalam nikah mut'ah status wanita hanyalah sebagai wanita sewaan.
- الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ تَزَوَّجْ مِنْهُنَّ أَلْفاً فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتٌ[88]
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan
2. Warisan
Dalam pernikahan yang lazim dilakukan, seorang istri berhak mendapat warisan suaminya jika suami meninggal dalam ikatan pernikahan dengan istri, Disepakati ataupun tidak.
وَلَكُمْ نِصْفُ مَاتَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ[89]
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu[90]
Dalam nikah mut'ah seorang istri tidak berhak mendapat warisan dari suaminya, kecuali dengan kesepakatan.
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. [91]
3. Putusnya hubungan pernikahan
Dalam pernikahan yang dikenal dalam Islam, hubungan pernikahan terputus dengan perceraian/talak, khulu'/cerai gugat, fasakh/pembatalan perkawinan atau pemisahan oleh hakim syar'i. Suami diberi kesempatan untuk menalak istrinya dua kali, dan talak pun ada yang raj'i/berkesempatan untuk kembali dan ba'in, yaitu tidak boleh rujuk lagi kecuali setelah si istri menikah dengan orang lain dan bergaul.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْسَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ[92]
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).[93]
Dalam nikah mut'ah hubungan pernikahan selesai dengan selesainya waktu yang disepakati atau dengan suami yang merelakan bagian harinya dan tidak ada talak.
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ ابْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ[94]
Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak.
4 Istri yang tertalak tiga
Jika seorang istri ditalak tiga kali oleh suami maka mereka boleh boleh menikah kembali setelah si istri menikah dengan laki-laki lain.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ[95]
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, ditengkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui[96]
Istri yang ditalak tiga kali dan telah menikah mut'ah maka belum dapat menikah dengan laki-laki lain, sebelum menikah dengan nikah yang lazim bagi orang Islam.
- عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ جُعِلْتُ فِدَاكَ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ[97]
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.
5. Cinta dan kasih sayang
Dalam pernikahan yang lazim, cinta dan kasih sayang merupakan salah satu tujuan dan menjadi akibat pernikahan.
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا[98]
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.[99]
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ[100]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.[101]
Dalam mut'ah tidak terdapat cinta dan kasih sayang karena dalam bermut'ah yang terpenting adalah kesepakatan atas waktu walaupun waktu yang disepakati adalah untuk sekali hubungan suami istri. Jika mereka berdua menyepakati waktu mut'ah untuk dua hari, Tentunya cinta dan kasih sayang yang ada pada suami istri akan layu sebelum berkembang, karena setelah lewat waktu dua hari, mereka berdua sudah bukan muhrim lagi.
مُحَمَّدٌ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ خَلَفِ بْنِ حَمَّادٍ قَالَ أَرْسَلْتُ إِلَى أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) كَمْ أَدْنَى أَجَلِ الْمُتْعَةِ هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَتَمَتَّعَ الرَّجُلُ بِشَرْطِ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ قَالَ نَعَمْ .[102]
Dari khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya
6. Poligami
Dalam pernikahan yang lazim, poligami diperbolehkan sampai batas maksimal 4 orang istri.
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا[103]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [104]
Sementara dalam nikah mut'ah diperbolehkan menikah mut'ah dengan lebih dari empat istri sekaligus, meskipun dia sudah memiliki 4 orang istri dari pernikahan yang lazim.
7- الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ سَعْدَانَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ زُرَارَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ ذَكَرْتُ لَهُ الْمُتْعَةَ أَ هِيَ مِنَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ تَزَوَّجْ مِنْهُنَّ أَلْفاً فَإِنَّهُنَّ مُسْتَأْجَرَاتٌ
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan
7. Menikahi wanita bersuami
Dalam Islam dilarang menikah dengan wanita yang sedang bersuami.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ[105]
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.[106]
Dalam mut'ah tidak perlu bertanya apakah wanita itu bersuami atau tidak. Jika dia ditanya lalu berbohong maka perkataannya tetap dipercaya. Jika ternyata wanita itu bersuami maka nikah mut'ah tidak otomatis batal.
عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) إِنِّي أَكُونُ فِي بَعْضِ الطُّرُقَاتِ فَأَرَى الْمَرْأَةَ الْحَسْنَاءَ وَ لَا آمَنُ أَنْ تَكُونَ ذَاتَ بَعْلٍ أَوْ مِنَ الْعَوَاهِرِ قَالَ لَيْسَ هَذَا عَلَيْكَ إِنَّمَا عَلَيْكَ أَنْ تُصَدِّقَهَا فِي نَفْسِهَا [107].
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.
8.Menikah dengan pelacur
Al Qur'an melarang kita menikah dengan pelacur.
الزَّانِي لاَيَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَيَنكِحُهَآ إِلاَّزَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ[108]
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min.[109]
Diperbolehkan nikah mut'ah dengan pelacur. Ayatollah Ali Al Sistani berkata :
Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah[110]
B. SANGGAHAN TERHADAP DASAR LEGALITAS MUT'AH
Setelah sedikit memperoleh gambaran tentang mut'ah, sedikit banyak kita dapat menganalisa bagaimana sebenarnya nikah mut'ah ini tidak sesuai dengan fitrah manusia yang telah digariskan oleh Allah. Karena fitrah manusia yang lurus menghendaki penikahan yang membawa ketentraman bagi kehidupannya. Ketenangan dan kehidupan yang tentram ini tidak akan didapat dalam nikah mut'ah, karena tujuan mut'ah adalah untuk memuaskan syahwat semata. Namun kita melihat bahwa syi'ah imamiyah mendasarkan pendapat mereka pada dalil syar'i, yaitu Al Qur'an. Tapi marilah kita bertanya pada benak kita masing-masing, apakah mungkin Al Qur'an memperbolehkan bentuk pernikahan dengan bentuk seperti mut'ah pada syiah imamiyah? Apakah dalil-dalil yang diajukan itu benar-benar memperbolehkan nikah mut'ah?
Dalil yang sering diajukan adalah potongan ayat surat Annisa' ayat 24 :
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً...[111] …..
Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…[112]
Jika kita membaca ayat itu sekilas, maka akan nampak jelas bahwa ayat itu menunjukkan kewajiban membayar ongkos bagi wanita yang dimut'ah/dinikmati. Tapi baiknya kita telusuri lagi ayat ini secara lengkap dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang ternyata membahas topik pernikahan yang tak ada hubungannya dengan nikah mut'ah ala syi'ah imamiyah.
وَلاَتَنكِحُوا مَانَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيلاً {22} حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا {23} وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّاوَرَآءَ ذَالِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا {24} وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّامَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُم مِّنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلاَمُتَّخِذَاتِ أّخْدَانٍ فَإِذَآأُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَاعَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرُُ لَّكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
[113]>[114]
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang wanita; saudara-saudaramu yang wanita; saudara-saudara bapakmu yang wanita; saudara-saudara ibumu yang wanita; anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang wanita; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara wanita sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua wanita yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [115]
Ayat-ayat sebelum ayat 22 membahas tentang perlakuan terhadap istri dan haramnya mengambil mahar yang telah diberikan pada istri. Ayat 22 melarang kita untuk menikahi mantan istri ayah kita serta menerangkan bahwa hal itu adalah sangat dibenci dan tercela. Ayat 23 menerangkan pada kita siapa saja yang haram dinikahi, diikuti dengan ayat 24 menerangkan larangan menikahi wanita yang telah bersuami dan menghalalkan untuk menikah dengan wanita baik-baik dengan pernikahan yang baik dan bukan berzina. Yang menarik di sini adalah penggunaan kata sifah untuk makna zina. Kata "sifah" yang disebutkan dalam ayat adalah berasal dari kata safaha yang berarti menuangkan. Mengapa zina disebut sebagai sifah? Karena bentuk zina adalah dengan menuangkan air mani ke wanita yang dizinainya, seperti diketahui tujuan berzina adalah untuk memuaskan nafsu syahwat dengan tertumpahnya mani. Setelah selesai hajatnya maka masing-masing pergi dan tak ada ikatan lagi. Oleh karena itu makna zina dalam Al Qur'an sering diungkapkan dengan kata sifah. Maka istri yang telah dicampuri hendaknya diberikan maharnya. Dan dibolehkan jika kedua pihak telah rela dan sepakat atas nafkah. Ayat 25 menyuruh mereka yang tidak mampu secara finansial untuk menikah dengan wanita merdeka maka hendaknya menikah dengan budak. Setelah itu ditekankan lagi untuk menikah dengan budak yang baik-baik bukannya pezina yang berzina terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Pada ayat ini kembali makna zina diungkapkan dengan lafaz sifah. Dengan melihat ayat sebelum dan sesudahnya kita dapat memastikan bahwa ayat-ayat ini membahas pernikahan yang lazim dikenal dalam islam, bukannya nikah mut'ah. Karena bagimana mungkin potongan ayat itu mengarah ke makna nikah mut'ah sementara kalimat sebelum dan sesudahnya dalam ayat itu menerangkan nikah yang dikenal dalam Islam. Juga kata ganti hunna dalam potongan ayat itu menunjukkan pada wanita-wanita yang dinikahi, bukannya dinikah mut'ah.
Bagaimana pendapat para ahli tafsir mengenai ayat ini? Apakah mereka memahami bahwa ayat ini menjadi dasar bagi legalitas nikah mut'ah?
Bahkan jika dilihat dari makna ayat itu dalam bahasa arab maka tidak mengarah pada nikah mut'ah. Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul Arab mengatakan:
Firman Allah pada surat Annisa' setelah menjelaskan wanita yang haram dinikahi . Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, yaitu dengan menikahi mereka dengan pernikahan yang benar dan bukan zina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, Azzajjaj telah menyebutkan bahwa ada sebuah kaum yang melakukan kesalahan besar dalam memahami ayat ini karena kedangkalan pengetahuan mereka terhadap bahasa arab, merka memahami bahwa maksud ayat di atas adalah mut'ah yang disepakati haramnya oleh seluruh ulama, sedangkan makna ayat yang benar adalah perempuan yang dinikahi sebagaimana kalimat sebelumnya dalam ayat, yaitu yang dinikahi dengan pernikahan yang benar, maka berikanlah mahar mereka. Barangsiapa menikmati mereka dengan bercampur, maka memberikan seluruh mahar dan yang baru berakad nikah memberikan setengah mahar.
Di sisi lain, tidak ada keterangan dari Nabi yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah mut'ah. Padahal kita ketahui bahwa manusia yang paling memahami Al Qur'an adalah Nabi, yang menjelaskan tentang makna banyak ayat dalam Al Qur'an. Penjelasan Nabi mengenai ayat Al Qur'an dapat kita temui dalam kitab hadits maupun tafsir. Juga tidak kita jumpai keterangan dari Sahabat nabi bahwa ayat ini membahas nikah mut'ah. Sementara dalam pembahasan nikah mut'ah dalam perspektif Syi'ah tidak kita jumpai dalil yang berasal dari Nabi dan para sahabatnya yang menerangkan bahwa ayat itu membahas nikah mut'ah.
Mari kita simak bersama pendapat para ahli tafsir mengenai ayat ini. Ibnu Katsir berkata:
Firman Allah "mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina" yaitu menikahi istri hingga 4 dengan hartamu, dan menikahi budakmu sebanyak yang kamu kehendaki dengan cara yang benar, karena itulah Allah memfirmankan untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagaimana kamu telah menikmati mereka maka berikanlah pada mereka mahar mereka[116]
Al Jashosh mengatakan:
Firman Allah: isteri-isteri yang telah kamu nikmati di antara mereka, yaitu yang kamu gauli…. Kata istimta' di sini bermakna intifa', yaitu kiasan bagi pergaulan suami istri.[117] Syinqithi menerangkan makna potongan ayat 24 surat Annisa :
Yaitu karena kamu telah menikmati wanita-wanita yang kalian nikahi itu maka berikanlah mahar pada mereka. Makna ini sesuai dengan makna ayat-ayat dalam Al Qur'an Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dalam ayat ini diterangkan bahwa bercampurnya suami dan istri merupakan sebab bagi harusnya suami memberikan mahar pada istri, hal inilah yang dimaksud dengan menikmati dalam ayat 24 surat Annisa' di atas Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dan ayat lain Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. …maka ayat ini adalah untuk pernikahan yang dikenal dalam islam bukannya nikah mut'ah seperti pendapat mereka yang tidak memahami ayat ini.[118]
Inilah nukilan dari beberapa pakar tafsir dari kitab mereka. Jadi jelaslah bahwa maksud Ayat dalam surat Annisa' ayat 24 tadi adalah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, bukannya nikah mut'ah.
Walaupun nikah mut'ah dibolehkan dalam syiah dan bahkan berpahala, tapi anehnya kita mendapati riwayat dari para Imam syi'ah yang tidak menganjurkan mut'ah, bahkan mencelanya dan menganggap nikah mut'ah sebagai perbuatan dosa. Yang lebih membuat kita heran, ternyata imam yang mengatakan demikian juga imam yang menganjurkan nikah mut'ah. Mari kita simak riwayat berikut:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ عليه السلام قَالَ عَنْ الْمُتْعَةِ : َما تَفْعَلُهَا عِنْدَنَا إِلاَّ اْلفَوَاجِرُ[119]
Abu Abdullah berkata mengenai mut'ah: di antara kita tidak ada yang melakukan nikah mut'ah kecuali orang pendosa
عَنْ عَبْدِ اللِّه بْنِ سِنَاٍن قَالَ : سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عليه السلام عَنْ الْمُتْعَةِ . فَقَالَ : لاَ تَُُدَنِّسْ نَفْسَكَ بِهَا[120]
Dari Abdullah bin Sinan: aku bertanya pada Abu Abdullah mengenai mut'ah lalu dia menjawab: Jangan kamu kotori dirimu dengan mut'ah.
Dua riwayat, yang satu mengatakan bahwa orang yang melakukan nikah mut'ah adalah pendosa dan satu lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah mengotori jiwa. Riwayat-riwayat ini memperkuat keyakinan bahwa nikah mut'ah adalah perbuatan tercela, yang disebut sebagai perbuatan dosa dan mengotori jiwa.
C. DAMPAK POSITIF NEGATIF NIKAH MUT'AH
1. Dampak Positif
Dampak positif nikah mut'ah adalah mempermudah sebagian orang untuk melepaskan nafsu syahwat biologis. Hal ini menjadi sangat mudah, karena mereka yang menginginkan mut'ah dapat langsung mencari pasangannya, melakukan akad nikah di mana saja, tanpa saksi dan wali serta tentunya tanpa walimah. Setelah puas, mantan suami dan istri dapat kembali ke rumah masing-masing tanpa menanggung beban dan tanggung jawab. Waktu pernikahan dapat di atur, paling sedikit adalah sekali hubungan suami istri dan tidak ada batasan waktu. Dengan nikah mut'ah seorang laki-laki dapat membunuh rasa bosan dan memperoleh puncak kenikmatan dengan nikah mut'ah setiap minggu, bahkan sesering mungkin dengan "istri" yang berbeda. Semua itu dilakukan tanpa beban dan dengan penuh harapan memperoleh "pahala" yang besar kelak.
2. Dampak Negatif
1. Pelecehan terhadap Wanita
Wanita dalam Islam memiliki kedudukan setara dengan pria. Islam dengan syariatnya yang sempurna diturunkan Allah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan keselamatan di akherat. Salah satu topik yang menjadi perhatian syariat Islam adalah masalah wanita. Islam menggariskan aturan-aturan yang berkenaan dengan wanita, karena wanita memiliki posisi penting dalam kehidupan, supaya dapat menjalankan fungsinya secara optimal dalam masyarakat. Dari mulai hukum hijab hingga seluruh aturan perkawinan, semuanya bertujuan untuk menjaga kesucian wanita. Sementara kita melihat aturan yang ada dalam nikah mut'ah, menjadikan wanita laksana barang dagangan yang diperjualbelikan kehormatannya. Wanita dapat dinikmati untuk kemudian dibuang. Menjual kesuciannya kepada pria dengan imbalan yang tak seberapa, mengorbankan kehidupan dan fungsi keberadaannya. Nikah mut'ah mematikan fungsi utama wanita, yaitu sebagai pemegang peranan penting di sektor pendidikan generasi penerus, yang mana jika kehilangan fungsinya maka kita akan kehilangan sebuah generasi. Nikah mut'ah menurunkan nilai wanita dari pendidik generasi menjadi pemuas nafsu saja. Hal ini tidaklah mengherankan, karena memang tujuan nikah mut'ah hanyalah pemuasan nafsu semata.
2. Rusaknya Lembaga Rumah Tangga
Adanya nikah mut'ah akan mengancam eksistensi lembaga rumah tangga. Suami tak akan merasa aman, karena jangan-jangan istrinya melakukan mut'ah dengan pria lain. Nikah mut'ah bisa jadi pelampiasan bagi suami maupun istri ketika dilanda masalah dalam kehidupan rumah tangganya. Begitu juga istri, selalu was was jika suaminya terlambat pulang. Tidak pernah merasa percaya penuh pada suaminya. Selalu merasa khawatir jangan-jangan suaminya berkhianat. Ekonomi rumah tangga akan goncang karena banyak dana yang tersedot keluar untuk keperluan mut'ah. Rumah tangga yang selalu dilanda curiga tak akan mampu menjalankan fungsinya sebagai tempat ketentraman jiwa bagi suami maupun istri. Rumah tangga yang selalu dilanda curiga hanya akan menghasilkan anak-anak yang terdidik dalam lingkungan penuh curiga, yang akan berpengaruh pada tatanan kejiwaan mereka. Rumah tangga yang dilanda curiga akan mendidik anak-anak berjiwa konflik, yang potensial menciptakan konflik dalam kehidupan dewasa mereka.
3. Punahnya keluarga
Kehidupan keluarga yang penuh konflik hanya akan menciptakan trauma bagi suami dan istri, serta menjadikan pelajaran yang berharga bagi para pemuda dan pemudi. Mereka takut jika dalam rumah tangga kelak mengalami apa yang telah dialami oleh teman, sanak saudara, tentangga dan rekan kerja mereka. Akhirnya lembaga perkawinan perlahan-lahan akan punah, karena para pemuda tidak merasa perlu untuk menikah, karena dapat melampiaskan nafsu syahwatnya dengan jalan yang benar tanpa harus berumah tangga, yang hanya akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Rusaknya keluarga akan mengakibatkan rusaknya masyarakat, yang merupakan kumpulan dari banyak keluarga. Rusaknya masyarakat akan mengakibatkan rusaknya negara, yang merupakan kesatuan dari masyarakat-masyarakat.
4. Tersebarnya Penyakit Menular Seksual
Penyakit menular seksual menjangkiti mereka yang sering berganti pasangan. Dalam nikah mut'ah tidak ada batasan untuk pergantian pasangan. Di mana seorang pria maupun wanita bebas untuk memilih pasangan mut'ahnya untuk kemudian mencari gantinya. Maka tersebarlah penyakit seksual yang akan menggerogoti masyarakat. Di antara penyakit yang berpeluang menyebar di kalangan pelaku mut'ah adalah AIDS. Tidak heran karena AIDS adalah penyakit yang menimpa akibat perzinaan. Salah satu negeri yang memperbolehkan nikah mut'ah adalah Iran. Wakil menteri kesehatan Iran, Ali Sayyari mengatakan bahwa jumlah penderita virus HIV di Iran saat ini lebih dari 15.000 orang, enam kali lebih besar dibanding jumlah penderita HIV lima tahun lalu. Sayyari mengatakan pada BBC bahwa legalisasi nikah mut'ah mempersulit pemberantasan HIV karena Undang-undang yang memperbolehkan laki-laki untuk berganti ganti pasangan telah berperan serta dalam penyebaran penyakit kelamin, termasuk AIDS.[121]
Penyebaran penyakit kelamin hanya akan membebani masyarakat dan negara.
KESIMPULAN
Ahlussunnah wal Jamaah sepakat untuk mengharamkan nikah mut'ah berdasar pada hadits-hadits Nabi yang menegaskan hal itu. Di antaranya adalah riwayat dari Ali dan Rabi' bin Saburah Al Juhani. Walaupun demikian Ahlussunnah tidak pernah mengingkari bahwa nikah mut'ah pernah diperbolehkan sebelum diharamkan. Riwayat pengharaman itu juga menjadi dasar pendapat ahlussunnah bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan sebelum akhirnya mansukh dan menjadi haram sampai hari kiamat.
Syiah Imamiyah berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah halal dan dianjurkan berdasarkan ayat Al Qur'an riwayat-riwayat dari para imam yang menegaskan hal itu. Mereka menolak pendapat yang mengharamkan dengan alasan bahwa yang mengharamkan adalah Umar, yang tidak dapat mengubah sebuah hukum yang ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci Al Qur'an.
Ayat yang dijadikan dasar legalitas nikah mut'ah ternyata tidak menunjukkan legalitas nikah mut'ah itu sendiri, tetapi mengikuti konteks ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu mengenai masalah pernikahan. Maka tidak dapat digunakan menjadi dasar legalitas nikah mut'ah.
Al Qur'an mengulas masalah pernikahan dengan panjang lebar mencakup hal hal yang sangat terperinci, namun tidak mengulas masalah nikah mut'ah kecuali dalam sebuah potongan ayat. Jika memang mut'ah sebagai topik yang berhubungan erat dengan pernikahan dibahas dalam Al Qur'an tentu tidak akan dibahas dalam sebuah potongan ayat, sementara masalah lainnya yang terkait dengan pernikahan dibahas panjang lebar dalam beberapa ayat.
Perincian mengenai hukum nikah mut'ah tidak berasal dari Nabi tetapi dari para Imam yang mana tidak dapat disetarakan dengan riwayat hadits yang berasal dari Nabi. Juga riwayat mengenai perincian mut'ah itu sebagai perincian yang berdiri di atas dasar legalitas mut'ah yang berdasar pada surat Annisa ayat 25, yang ternyata tidak membahas topik mut'ah dan tidak dapat dijadikan dasar bagi legalitas nikah mut'ah. Maka seluruh perincian tadi gugur dan tidak dapat dijadikan pegangan karena merinci sebuah perbuatan yang haram.
Terdapat perbedaan mendasar antara pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam dengan nikah mut'ah. Perbedaan itu menyampaikan kita pada kesimpulan bahwa nikah mut'ah bukanlah sebuah pernikahan tapi lebih mirip kepada bentuk pelacuran. Kesimpulan ini diperkuat dengan riwayat-riwayat yang menyatakan secara eksplisit bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Sementara kita ketahui bahwa pelacuran adalah kesepakatan antara pria dan wanita untuk berhubungan layaknya suami istri dengan imbalan yang diberikan pada wanita selama jangka waktu tertentu, yang umumnya adalah dalam jangka waktu pendek. Ini tidak ada bedanya dengan mut'ah yang menetapkan batas waktu minimal adalah sekali hubungan suami istri.
Nikah mut'ah merendahkan derajat wanita, yang dianggap sebagai barang yang dapat disewa. Sementara Islam mengangkat derajat wanita dan menjaganya dari segala bentuk pelecehan dan penistaan. Kaum wanita bukanlah barang yang dapat disewa kemudian dikembalikan begitu saja dengan imbalan minimal segenggam gandum atau beras.
Sebagaimana pelacuran, nikah mut'ah akan membawa dampak negatif yang tak kalah dengan pelacuran. Yaitu hancurnya lembaga keluarga, rusaknya tatanan sosial masyarakat dan tersebarnya penyakit kelamin.
Pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i adalah pendapat yang dianut oleh Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan bahwa praktek nikah mut'ah adalah haram sampai hari kiamat. Pendapat ini juga sesuai dengan fitrah manusia dan kemaslahatan pribadi dan masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. AL QUR’AN DAN TERJEMAHANNYA, . Cetakan Saudi Arabia. Tanpa Tahun
Al Asqalani. Ibnu Hajar. Tanpa Tahun. Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Beirut : Darul Ma’rifah.
AnNawawi. Muhyiddin. Tanpa Tahun. Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Beirut : Darul Ma’rifah.
_______, 1996. Al Majmu' Syarhul Muhazzab. Beirut. Darul Fikr.
Salim . Kamal bin Sayyid. Tanpa Tahun. Sohih Fiqhissunnah. Cairo : Maktabah Taufiqiyyah.
Assalus. Ali Ahmad. 1997. Ma’aSyi’ah itsna Asyriyah fil Ushul wal Furu’. Mesir: Daruttaqwa
AsShan’ani. Muhammad bin Ismail. Tanpa Tahun. Subulussalam. Beirut : Al Maktabah Al Ashriyyah.
Al Qifari. Nasir. 1997. Mas’alatu Taqrib baina Ahlissunnah wa Syi’ah. Riyadh : Dar Toibah
Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Tanpa Tahun. Al Kafi. www.islam4u.com
AtTusi. Abu Ja’far bin Muhammad bin Hasan. Tanpa Tahun, Al Istibsor fi ma ukhtulifa fiihi minal akhbar. www.al-shia.com
Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih. Tanpa Tahun . Man La yahdhuruhul faqih. www.al-shia.com
Al Muhammadi. Yusuf Jabir. Tanpa Tahun. Tahrimul Mut'ah Fil Kitabi Wassunnah. London : Muassasah Shalahuddin Al Khairiyyah
Al Sarkhasi, Syamsuddin. 1993. Al Mabsut. Beirut. Darul Kutub Al Ilmiyyah. Dari CD Maktabatul Fiqh
Asysyafi'i. Muhammad bin Idris. Tanpa Tahun. Al Umm. Darul Kutub Al Ilmiyyah. Dari CD Maktabatul Fiqh
Assamarqondi. Abu Laits. Al Muhazzab. Tanpa Tahun. Beirut. Dar Ihya' Turats Al Arabi. Dari CD Maktabatul Fiqh
Ibnu Dhawayyan. Tanpa Tahun. Manarussabil. Al Maktab Al Islami. Dari CD Maktabatul Fiqh
[1] Annisa. 4 : 3
[2] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal 115
[3] Al Ra'd. 13 : 38
[4] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal 376
[5] AnNur. 24 : 32
[6] Departemen Agama RI, Op. Cit. Hal 549
[7] Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Kitab Nikah. Bab Targhib finNikah.. Darul Ma'rifah Beirut. Tanpa Tahun . 9 : 104. Hadits No. 5063
[8] AnNawawi. Muhyiddin.. Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Jilid 9 Hal 184 . Kitab Zakat Bab Bayan Anna isma sadaqah yaqa'u ala kulli nau'in minal ma'ruf. Da rul Ma’rifah. Beirut Tanpa Tahun : 7 : 92. Hadits no. 2326
[9] ArRuum. 30 : 21
[10] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal 644
[11] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 3 hal 520
[12] AnNisaa' 4 : 24
[13] Departemen Agama RI, Op. Cit Hal 120
[14] AnNIsaa'. 4 : 25
[15] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 121
[16] Al Mu'minun. 23 : 5,6
[17] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 526
[18] AnNIsaa'. 4 : 12
[19] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 118
[20] Al Baqarah. 2 : 231
[21] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 56
[22] Al Baqarah. 2 : 230
[23] Departemen Agama RI, Loc.Cit.
[24] Al A'raf . 7 : 189
[25] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 253
[26] ArRum. 30 : 21
[27] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 644
[28] AtThalaq. 65 : 6
[29] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 946
[30] AnNisa' 4 : 3
[31] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 115
[32] AnNisa' 4 : 25
[33] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 121
[34] AnNur. 24 : 3
[35] Departemen Agama RI, Op.Cit Hal. 543
[36] Ahmad Muhamamd Al Fayyumi. Al Misbahul Munir . Darul Kutub Ilmiyyah. Beirut 1398 H. Jilid 1 Hal 312. Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 23
[37] Ibnu Manzhur. Lisaul Arab .Matba'ah Amiriyah. Tanpa Tempat Penerbitan. 1303 H. Jilid 17. Hal. 90. Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 23
[38] Al Hambali. Ibnu Rajab. Kasyful Kurbah fi Washfi Hali Ahlil Ghurbah.Maktabah Mahmudiyah. Mesir. Tanpa Tahun. Hal 11, 12 Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 25
[39] Ali bin Muhammad bin Hazm. Al Fishol Fil Milal Wal Ahwa' Wannihal.. Maktabah Muhammad Ali Sabih. Cairo 1348 H Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 26
[40] Abu Muzaffar Al Isfirayiinii. Attabshir Fiddin. Hal 176 Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 26
[41] Tajul Arus Jilid 8 Hal 405 Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 119
[42] Awa'ilul Maqolat. Al Mufid hal 39. Tajul Arus Jilid 8 Hal 405 Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 121
[43] Asysyafi'i. Muhammad bin Idris. Al Umm. Darul Kutub Al Ilmiyyah, . Tanpa Tahun, Dari CD Maktabatul Fiqh, Jilid 5, Hal. 10
[44] Assamarqondi. Abu Laits. Al Muhazzab.. Beirut. Dar Ihya' Turats Al Arabi . Tanpa Tahun. jilid 2 hal 54. Dari CD Maktabatul Fiqh
[45] Ibnu Dhawayyan. Manarussabil. Al Maktab Al Islami. Dari CD Maktabatul Fiqh, Tanpa Tahun.
[46] AnNisa'. 4 : 25
[47] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal. 121
[48] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 1 hal 588
[49] Al Mu'minun. 23 : 5, 6
[50] Departemen Agama RI, Op. Cit. Hal 526
[51] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 3 hal 294
[52] AnNur. 24 : 33
[53] Departemen Agama RI, Op. Cit. Hal 549
[54] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. Jilid 1 hal 588
[55] Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Jilid 9 .Hal 166 Kitab Nikah. Bab Naha Rasulullah An Nikahil Mut'ati Akhiiron.. Darul Ma'rifah Beirut. Tanpa Tahun . 9 : 166 hadits No. 5115
[56] AnNawawi. Muhyiddin.. Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Jilid 9 Hal 184 . Kitab Nikah Bab Nikahul Mut'ah, wa bayan annahu ubiihaTsumma Nusikh Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha Da rul Ma’rifah. Beirut Tanpa Tahun : 9 : 187. Hadits no. 3404
[57] AnNawawi. Muhyiddin.. Op. Cit. Jilid 9 : 187. Hadits no. 3404
[58] AnNawawi. Muhyiddin.. Ibid Jilid 9 hal 184
[59] AnNawawi. Muhyiddin.. Ibid... Kitab Nikah Bab Nikahul Mut'ah, wa bayan annahu ubiiha y Tsumma Nusikh Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha Da rul Ma’rifah. Beirut Tanpa Tahun : 9 : 186. Hadits no. 3402
[60] AnNawawi. Muhyiddin.. Op. Cit Jilid 9 hal 183
[61] AnNawawi. Muhyiddin.. Loc. Cit.
[62] Assamarqondi. Abu Laits. Al Muhazzab.. Beirut. Dar Ihya' Turats Al Arabi. Tanpa Tahun . Dari CD Maktabatul Fiqh Jilid 2 hal 54
[63] Al Sarkhasi, Syamsuddin.. Al Mabsut. Beirut. Darul Kutub Al Ilmiyyah. 1993 . jilid 5. hal. 153 Dari CD Maktabatul Fiqh
[64] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Al Kafi.. www.islam4u.com Tanpa Tahun. Jilid 5 hal. 448
[65] Syiah memahami ayat ini bukan dalam kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut'ah
[66] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit. Riwayat. No2
[67] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Op. Cit. Jilid 5 hal. 448 . Riwayat. No. 3
[68] [68] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit. Riwayat. No. 4
[69] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Op. Cit . Jilid 5 hal. 451 .
[70] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Op. Cit. Jilid. 5 Hal. 452
[71] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Op. Cit. Jilid. 5 Hal. 455
[72] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 457
[73] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 458
[74] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 460
[75] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit
[76] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit
[77] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 452
[78] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid t. Jilid. 5 Hal. 462
[79] Al Sistani. Ali. Minhajusholihin. www.al-shia.com. Tanpa Tahun Jilid 3 hal 82
[80] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit
[81] Al Sistani. Ali. Op. Cit. Jilid 3 hal. 8
[82] Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih.. Man La yahdhuruhul faqih. www.al-shia.com Tanpa Tahun. Jilid 3. Hal 464
[83] Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih..Loc. Cit
[84] Al Sistani. Ali. Op. Cit. Hal. 80
[85] Al Sistani. Ali. Loc. Cit.
[86] AnNisaa' 4 : 24
[87] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal. 120
[88] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'kub. Op. Cit. Jilid 5 hal. 452
[89] AnNIsaa'. 4 : 12
[90] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 118
[91] Al Sistani. Ali.Loc. Cit.
[92] Al Baqarah. 2 : 231
[93] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 56
[94] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'kub. Op. Cit. Jilid 5 hal 458
[95] Al Baqarah. 2 : 230
[96] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 56
[97] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'kub. Op. Cit. Jilid 5 hal 460
[98] Al A'raf 7 : 189
[99] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 253
[100] ArRum. 30 : 21
[101] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 644
[102] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 460
[103] AnNisa' 4 : 3
[104] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 115
[105] AnNisa' 4 : 25
[106] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 121
[107] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid t. Jilid. 5 Hal. 462
[108] AnNur. 24 : 3
[109] Departemen Agama RI, Op.Cit Hal. 543
[110] Al Sistani. Ali. Minhajusholihin. www.al-shia.com. Tanpa Tahun Jilid 3 hal 82
[111] AnNIsa' 4 : 24
[112] Departemen Agama RI, Op.Cit Hal. 121
[113] AnNisa' 4 : 22- 25
[115] Departemen Agama RI. Op. Cit. hal 120 - 121.
[116] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 1 hal 586.
[117] Al Jashosh. Ahkamul Qur'an jilid 2 hal 146 Dinukil dari Muhammadi. Yusuf Jabir. Tanpa Tahun. Tahrimul Mut'ah Fil Kitabi Wassunnah. London : Muassasah Shalahuddin Al Khairiyyah
[118] Syinqithi. Adhwa'l Bayan jilid 1 hal. 384 Dinukil dari Muhammadi. Yusuf Jabir. Tanpa Tahun. Tahrimul Mut'ah Fil Kitabi Wassunnah. London : Muassasah Shalahuddin Al Khairiyyah
[119] Biharul Anwar. Majlisi. Jilid 100 Hal 318 . Dinukil Dari Muhammad. Malullah AsSyi'ah Wal Mut'ah www.fnoor.com. Tanpa Tahun
[120] Muhammad Malullah. Loc. Cit.
[121]http://www.islamonline.net/Arabic/news/2001-12/10/Article07.shtm
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang wanita; saudara-saudaramu yang wanita; saudara-saudara bapakmu yang wanita; saudara-saudara ibumu yang wanita; anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang wanita; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara wanita sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua wanita yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi-bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [115]
Ayat-ayat sebelum ayat 22 membahas tentang perlakuan terhadap istri dan haramnya mengambil mahar yang telah diberikan pada istri. Ayat 22 melarang kita untuk menikahi mantan istri ayah kita serta menerangkan bahwa hal itu adalah sangat dibenci dan tercela. Ayat 23 menerangkan pada kita siapa saja yang haram dinikahi, diikuti dengan ayat 24 menerangkan larangan menikahi wanita yang telah bersuami dan menghalalkan untuk menikah dengan wanita baik-baik dengan pernikahan yang baik dan bukan berzina. Yang menarik di sini adalah penggunaan kata sifah untuk makna zina. Kata "sifah" yang disebutkan dalam ayat adalah berasal dari kata safaha yang berarti menuangkan. Mengapa zina disebut sebagai sifah? Karena bentuk zina adalah dengan menuangkan air mani ke wanita yang dizinainya, seperti diketahui tujuan berzina adalah untuk memuaskan nafsu syahwat dengan tertumpahnya mani. Setelah selesai hajatnya maka masing-masing pergi dan tak ada ikatan lagi. Oleh karena itu makna zina dalam Al Qur'an sering diungkapkan dengan kata sifah. Maka istri yang telah dicampuri hendaknya diberikan maharnya. Dan dibolehkan jika kedua pihak telah rela dan sepakat atas nafkah. Ayat 25 menyuruh mereka yang tidak mampu secara finansial untuk menikah dengan wanita merdeka maka hendaknya menikah dengan budak. Setelah itu ditekankan lagi untuk menikah dengan budak yang baik-baik bukannya pezina yang berzina terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Pada ayat ini kembali makna zina diungkapkan dengan lafaz sifah. Dengan melihat ayat sebelum dan sesudahnya kita dapat memastikan bahwa ayat-ayat ini membahas pernikahan yang lazim dikenal dalam islam, bukannya nikah mut'ah. Karena bagimana mungkin potongan ayat itu mengarah ke makna nikah mut'ah sementara kalimat sebelum dan sesudahnya dalam ayat itu menerangkan nikah yang dikenal dalam Islam. Juga kata ganti hunna dalam potongan ayat itu menunjukkan pada wanita-wanita yang dinikahi, bukannya dinikah mut'ah.
Bagaimana pendapat para ahli tafsir mengenai ayat ini? Apakah mereka memahami bahwa ayat ini menjadi dasar bagi legalitas nikah mut'ah?
Bahkan jika dilihat dari makna ayat itu dalam bahasa arab maka tidak mengarah pada nikah mut'ah. Ibnu Manzhur dalam kamus Lisanul Arab mengatakan:
Firman Allah pada surat Annisa' setelah menjelaskan wanita yang haram dinikahi . Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, yaitu dengan menikahi mereka dengan pernikahan yang benar dan bukan zina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, Azzajjaj telah menyebutkan bahwa ada sebuah kaum yang melakukan kesalahan besar dalam memahami ayat ini karena kedangkalan pengetahuan mereka terhadap bahasa arab, merka memahami bahwa maksud ayat di atas adalah mut'ah yang disepakati haramnya oleh seluruh ulama, sedangkan makna ayat yang benar adalah perempuan yang dinikahi sebagaimana kalimat sebelumnya dalam ayat, yaitu yang dinikahi dengan pernikahan yang benar, maka berikanlah mahar mereka. Barangsiapa menikmati mereka dengan bercampur, maka memberikan seluruh mahar dan yang baru berakad nikah memberikan setengah mahar.
Di sisi lain, tidak ada keterangan dari Nabi yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah mut'ah. Padahal kita ketahui bahwa manusia yang paling memahami Al Qur'an adalah Nabi, yang menjelaskan tentang makna banyak ayat dalam Al Qur'an. Penjelasan Nabi mengenai ayat Al Qur'an dapat kita temui dalam kitab hadits maupun tafsir. Juga tidak kita jumpai keterangan dari Sahabat nabi bahwa ayat ini membahas nikah mut'ah. Sementara dalam pembahasan nikah mut'ah dalam perspektif Syi'ah tidak kita jumpai dalil yang berasal dari Nabi dan para sahabatnya yang menerangkan bahwa ayat itu membahas nikah mut'ah.
Mari kita simak bersama pendapat para ahli tafsir mengenai ayat ini. Ibnu Katsir berkata:
Firman Allah "mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina" yaitu menikahi istri hingga 4 dengan hartamu, dan menikahi budakmu sebanyak yang kamu kehendaki dengan cara yang benar, karena itulah Allah memfirmankan untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagaimana kamu telah menikmati mereka maka berikanlah pada mereka mahar mereka[116]
Al Jashosh mengatakan:
Firman Allah: isteri-isteri yang telah kamu nikmati di antara mereka, yaitu yang kamu gauli…. Kata istimta' di sini bermakna intifa', yaitu kiasan bagi pergaulan suami istri.[117] Syinqithi menerangkan makna potongan ayat 24 surat Annisa :
Yaitu karena kamu telah menikmati wanita-wanita yang kalian nikahi itu maka berikanlah mahar pada mereka. Makna ini sesuai dengan makna ayat-ayat dalam Al Qur'an Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dalam ayat ini diterangkan bahwa bercampurnya suami dan istri merupakan sebab bagi harusnya suami memberikan mahar pada istri, hal inilah yang dimaksud dengan menikmati dalam ayat 24 surat Annisa' di atas Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dan ayat lain Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. …maka ayat ini adalah untuk pernikahan yang dikenal dalam islam bukannya nikah mut'ah seperti pendapat mereka yang tidak memahami ayat ini.[118]
Inilah nukilan dari beberapa pakar tafsir dari kitab mereka. Jadi jelaslah bahwa maksud Ayat dalam surat Annisa' ayat 24 tadi adalah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, bukannya nikah mut'ah.
Walaupun nikah mut'ah dibolehkan dalam syiah dan bahkan berpahala, tapi anehnya kita mendapati riwayat dari para Imam syi'ah yang tidak menganjurkan mut'ah, bahkan mencelanya dan menganggap nikah mut'ah sebagai perbuatan dosa. Yang lebih membuat kita heran, ternyata imam yang mengatakan demikian juga imam yang menganjurkan nikah mut'ah. Mari kita simak riwayat berikut:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ عليه السلام قَالَ عَنْ الْمُتْعَةِ : َما تَفْعَلُهَا عِنْدَنَا إِلاَّ اْلفَوَاجِرُ[119]
Abu Abdullah berkata mengenai mut'ah: di antara kita tidak ada yang melakukan nikah mut'ah kecuali orang pendosa
عَنْ عَبْدِ اللِّه بْنِ سِنَاٍن قَالَ : سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عليه السلام عَنْ الْمُتْعَةِ . فَقَالَ : لاَ تَُُدَنِّسْ نَفْسَكَ بِهَا[120]
Dari Abdullah bin Sinan: aku bertanya pada Abu Abdullah mengenai mut'ah lalu dia menjawab: Jangan kamu kotori dirimu dengan mut'ah.
Dua riwayat, yang satu mengatakan bahwa orang yang melakukan nikah mut'ah adalah pendosa dan satu lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah mengotori jiwa. Riwayat-riwayat ini memperkuat keyakinan bahwa nikah mut'ah adalah perbuatan tercela, yang disebut sebagai perbuatan dosa dan mengotori jiwa.
C. DAMPAK POSITIF NEGATIF NIKAH MUT'AH
1. Dampak Positif
Dampak positif nikah mut'ah adalah mempermudah sebagian orang untuk melepaskan nafsu syahwat biologis. Hal ini menjadi sangat mudah, karena mereka yang menginginkan mut'ah dapat langsung mencari pasangannya, melakukan akad nikah di mana saja, tanpa saksi dan wali serta tentunya tanpa walimah. Setelah puas, mantan suami dan istri dapat kembali ke rumah masing-masing tanpa menanggung beban dan tanggung jawab. Waktu pernikahan dapat di atur, paling sedikit adalah sekali hubungan suami istri dan tidak ada batasan waktu. Dengan nikah mut'ah seorang laki-laki dapat membunuh rasa bosan dan memperoleh puncak kenikmatan dengan nikah mut'ah setiap minggu, bahkan sesering mungkin dengan "istri" yang berbeda. Semua itu dilakukan tanpa beban dan dengan penuh harapan memperoleh "pahala" yang besar kelak.
2. Dampak Negatif
1. Pelecehan terhadap Wanita
Wanita dalam Islam memiliki kedudukan setara dengan pria. Islam dengan syariatnya yang sempurna diturunkan Allah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan keselamatan di akherat. Salah satu topik yang menjadi perhatian syariat Islam adalah masalah wanita. Islam menggariskan aturan-aturan yang berkenaan dengan wanita, karena wanita memiliki posisi penting dalam kehidupan, supaya dapat menjalankan fungsinya secara optimal dalam masyarakat. Dari mulai hukum hijab hingga seluruh aturan perkawinan, semuanya bertujuan untuk menjaga kesucian wanita. Sementara kita melihat aturan yang ada dalam nikah mut'ah, menjadikan wanita laksana barang dagangan yang diperjualbelikan kehormatannya. Wanita dapat dinikmati untuk kemudian dibuang. Menjual kesuciannya kepada pria dengan imbalan yang tak seberapa, mengorbankan kehidupan dan fungsi keberadaannya. Nikah mut'ah mematikan fungsi utama wanita, yaitu sebagai pemegang peranan penting di sektor pendidikan generasi penerus, yang mana jika kehilangan fungsinya maka kita akan kehilangan sebuah generasi. Nikah mut'ah menurunkan nilai wanita dari pendidik generasi menjadi pemuas nafsu saja. Hal ini tidaklah mengherankan, karena memang tujuan nikah mut'ah hanyalah pemuasan nafsu semata.
2. Rusaknya Lembaga Rumah Tangga
Adanya nikah mut'ah akan mengancam eksistensi lembaga rumah tangga. Suami tak akan merasa aman, karena jangan-jangan istrinya melakukan mut'ah dengan pria lain. Nikah mut'ah bisa jadi pelampiasan bagi suami maupun istri ketika dilanda masalah dalam kehidupan rumah tangganya. Begitu juga istri, selalu was was jika suaminya terlambat pulang. Tidak pernah merasa percaya penuh pada suaminya. Selalu merasa khawatir jangan-jangan suaminya berkhianat. Ekonomi rumah tangga akan goncang karena banyak dana yang tersedot keluar untuk keperluan mut'ah. Rumah tangga yang selalu dilanda curiga tak akan mampu menjalankan fungsinya sebagai tempat ketentraman jiwa bagi suami maupun istri. Rumah tangga yang selalu dilanda curiga hanya akan menghasilkan anak-anak yang terdidik dalam lingkungan penuh curiga, yang akan berpengaruh pada tatanan kejiwaan mereka. Rumah tangga yang dilanda curiga akan mendidik anak-anak berjiwa konflik, yang potensial menciptakan konflik dalam kehidupan dewasa mereka.
3. Punahnya keluarga
Kehidupan keluarga yang penuh konflik hanya akan menciptakan trauma bagi suami dan istri, serta menjadikan pelajaran yang berharga bagi para pemuda dan pemudi. Mereka takut jika dalam rumah tangga kelak mengalami apa yang telah dialami oleh teman, sanak saudara, tentangga dan rekan kerja mereka. Akhirnya lembaga perkawinan perlahan-lahan akan punah, karena para pemuda tidak merasa perlu untuk menikah, karena dapat melampiaskan nafsu syahwatnya dengan jalan yang benar tanpa harus berumah tangga, yang hanya akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Rusaknya keluarga akan mengakibatkan rusaknya masyarakat, yang merupakan kumpulan dari banyak keluarga. Rusaknya masyarakat akan mengakibatkan rusaknya negara, yang merupakan kesatuan dari masyarakat-masyarakat.
4. Tersebarnya Penyakit Menular Seksual
Penyakit menular seksual menjangkiti mereka yang sering berganti pasangan. Dalam nikah mut'ah tidak ada batasan untuk pergantian pasangan. Di mana seorang pria maupun wanita bebas untuk memilih pasangan mut'ahnya untuk kemudian mencari gantinya. Maka tersebarlah penyakit seksual yang akan menggerogoti masyarakat. Di antara penyakit yang berpeluang menyebar di kalangan pelaku mut'ah adalah AIDS. Tidak heran karena AIDS adalah penyakit yang menimpa akibat perzinaan. Salah satu negeri yang memperbolehkan nikah mut'ah adalah Iran. Wakil menteri kesehatan Iran, Ali Sayyari mengatakan bahwa jumlah penderita virus HIV di Iran saat ini lebih dari 15.000 orang, enam kali lebih besar dibanding jumlah penderita HIV lima tahun lalu. Sayyari mengatakan pada BBC bahwa legalisasi nikah mut'ah mempersulit pemberantasan HIV karena Undang-undang yang memperbolehkan laki-laki untuk berganti ganti pasangan telah berperan serta dalam penyebaran penyakit kelamin, termasuk AIDS.[121]
Penyebaran penyakit kelamin hanya akan membebani masyarakat dan negara.
KESIMPULAN
Ahlussunnah wal Jamaah sepakat untuk mengharamkan nikah mut'ah berdasar pada hadits-hadits Nabi yang menegaskan hal itu. Di antaranya adalah riwayat dari Ali dan Rabi' bin Saburah Al Juhani. Walaupun demikian Ahlussunnah tidak pernah mengingkari bahwa nikah mut'ah pernah diperbolehkan sebelum diharamkan. Riwayat pengharaman itu juga menjadi dasar pendapat ahlussunnah bahwa nikah mut'ah pernah dibolehkan sebelum akhirnya mansukh dan menjadi haram sampai hari kiamat.
Syiah Imamiyah berpendapat bahwa nikah mut'ah adalah halal dan dianjurkan berdasarkan ayat Al Qur'an riwayat-riwayat dari para imam yang menegaskan hal itu. Mereka menolak pendapat yang mengharamkan dengan alasan bahwa yang mengharamkan adalah Umar, yang tidak dapat mengubah sebuah hukum yang ditetapkan oleh Allah dalam kitab suci Al Qur'an.
Ayat yang dijadikan dasar legalitas nikah mut'ah ternyata tidak menunjukkan legalitas nikah mut'ah itu sendiri, tetapi mengikuti konteks ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu mengenai masalah pernikahan. Maka tidak dapat digunakan menjadi dasar legalitas nikah mut'ah.
Al Qur'an mengulas masalah pernikahan dengan panjang lebar mencakup hal hal yang sangat terperinci, namun tidak mengulas masalah nikah mut'ah kecuali dalam sebuah potongan ayat. Jika memang mut'ah sebagai topik yang berhubungan erat dengan pernikahan dibahas dalam Al Qur'an tentu tidak akan dibahas dalam sebuah potongan ayat, sementara masalah lainnya yang terkait dengan pernikahan dibahas panjang lebar dalam beberapa ayat.
Perincian mengenai hukum nikah mut'ah tidak berasal dari Nabi tetapi dari para Imam yang mana tidak dapat disetarakan dengan riwayat hadits yang berasal dari Nabi. Juga riwayat mengenai perincian mut'ah itu sebagai perincian yang berdiri di atas dasar legalitas mut'ah yang berdasar pada surat Annisa ayat 25, yang ternyata tidak membahas topik mut'ah dan tidak dapat dijadikan dasar bagi legalitas nikah mut'ah. Maka seluruh perincian tadi gugur dan tidak dapat dijadikan pegangan karena merinci sebuah perbuatan yang haram.
Terdapat perbedaan mendasar antara pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam dengan nikah mut'ah. Perbedaan itu menyampaikan kita pada kesimpulan bahwa nikah mut'ah bukanlah sebuah pernikahan tapi lebih mirip kepada bentuk pelacuran. Kesimpulan ini diperkuat dengan riwayat-riwayat yang menyatakan secara eksplisit bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Sementara kita ketahui bahwa pelacuran adalah kesepakatan antara pria dan wanita untuk berhubungan layaknya suami istri dengan imbalan yang diberikan pada wanita selama jangka waktu tertentu, yang umumnya adalah dalam jangka waktu pendek. Ini tidak ada bedanya dengan mut'ah yang menetapkan batas waktu minimal adalah sekali hubungan suami istri.
Nikah mut'ah merendahkan derajat wanita, yang dianggap sebagai barang yang dapat disewa. Sementara Islam mengangkat derajat wanita dan menjaganya dari segala bentuk pelecehan dan penistaan. Kaum wanita bukanlah barang yang dapat disewa kemudian dikembalikan begitu saja dengan imbalan minimal segenggam gandum atau beras.
Sebagaimana pelacuran, nikah mut'ah akan membawa dampak negatif yang tak kalah dengan pelacuran. Yaitu hancurnya lembaga keluarga, rusaknya tatanan sosial masyarakat dan tersebarnya penyakit kelamin.
Pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i adalah pendapat yang dianut oleh Ahlussunnah wal jamaah yang menyatakan bahwa praktek nikah mut'ah adalah haram sampai hari kiamat. Pendapat ini juga sesuai dengan fitrah manusia dan kemaslahatan pribadi dan masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. AL QUR’AN DAN TERJEMAHANNYA, . Cetakan Saudi Arabia. Tanpa Tahun
Al Asqalani. Ibnu Hajar. Tanpa Tahun. Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Beirut : Darul Ma’rifah.
AnNawawi. Muhyiddin. Tanpa Tahun. Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Beirut : Darul Ma’rifah.
_______, 1996. Al Majmu' Syarhul Muhazzab. Beirut. Darul Fikr.
Salim . Kamal bin Sayyid. Tanpa Tahun. Sohih Fiqhissunnah. Cairo : Maktabah Taufiqiyyah.
Assalus. Ali Ahmad. 1997. Ma’aSyi’ah itsna Asyriyah fil Ushul wal Furu’. Mesir: Daruttaqwa
AsShan’ani. Muhammad bin Ismail. Tanpa Tahun. Subulussalam. Beirut : Al Maktabah Al Ashriyyah.
Al Qifari. Nasir. 1997. Mas’alatu Taqrib baina Ahlissunnah wa Syi’ah. Riyadh : Dar Toibah
Kulaini. Muhammad bin Ya’qub. Tanpa Tahun. Al Kafi. www.islam4u.com
AtTusi. Abu Ja’far bin Muhammad bin Hasan. Tanpa Tahun, Al Istibsor fi ma ukhtulifa fiihi minal akhbar. www.al-shia.com
Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih. Tanpa Tahun . Man La yahdhuruhul faqih. www.al-shia.com
Al Muhammadi. Yusuf Jabir. Tanpa Tahun. Tahrimul Mut'ah Fil Kitabi Wassunnah. London : Muassasah Shalahuddin Al Khairiyyah
Al Sarkhasi, Syamsuddin. 1993. Al Mabsut. Beirut. Darul Kutub Al Ilmiyyah. Dari CD Maktabatul Fiqh
Asysyafi'i. Muhammad bin Idris. Tanpa Tahun. Al Umm. Darul Kutub Al Ilmiyyah. Dari CD Maktabatul Fiqh
Assamarqondi. Abu Laits. Al Muhazzab. Tanpa Tahun. Beirut. Dar Ihya' Turats Al Arabi. Dari CD Maktabatul Fiqh
Ibnu Dhawayyan. Tanpa Tahun. Manarussabil. Al Maktab Al Islami. Dari CD Maktabatul Fiqh
[1] Annisa. 4 : 3
[2] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal 115
[3] Al Ra'd. 13 : 38
[4] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal 376
[5] AnNur. 24 : 32
[6] Departemen Agama RI, Op. Cit. Hal 549
[7] Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Kitab Nikah. Bab Targhib finNikah.. Darul Ma'rifah Beirut. Tanpa Tahun . 9 : 104. Hadits No. 5063
[8] AnNawawi. Muhyiddin.. Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Jilid 9 Hal 184 . Kitab Zakat Bab Bayan Anna isma sadaqah yaqa'u ala kulli nau'in minal ma'ruf. Da rul Ma’rifah. Beirut Tanpa Tahun : 7 : 92. Hadits no. 2326
[9] ArRuum. 30 : 21
[10] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal 644
[11] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 3 hal 520
[12] AnNisaa' 4 : 24
[13] Departemen Agama RI, Op. Cit Hal 120
[14] AnNIsaa'. 4 : 25
[15] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 121
[16] Al Mu'minun. 23 : 5,6
[17] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 526
[18] AnNIsaa'. 4 : 12
[19] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 118
[20] Al Baqarah. 2 : 231
[21] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 56
[22] Al Baqarah. 2 : 230
[23] Departemen Agama RI, Loc.Cit.
[24] Al A'raf . 7 : 189
[25] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 253
[26] ArRum. 30 : 21
[27] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 644
[28] AtThalaq. 65 : 6
[29] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 946
[30] AnNisa' 4 : 3
[31] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 115
[32] AnNisa' 4 : 25
[33] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 121
[34] AnNur. 24 : 3
[35] Departemen Agama RI, Op.Cit Hal. 543
[36] Ahmad Muhamamd Al Fayyumi. Al Misbahul Munir . Darul Kutub Ilmiyyah. Beirut 1398 H. Jilid 1 Hal 312. Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 23
[37] Ibnu Manzhur. Lisaul Arab .Matba'ah Amiriyah. Tanpa Tempat Penerbitan. 1303 H. Jilid 17. Hal. 90. Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 23
[38] Al Hambali. Ibnu Rajab. Kasyful Kurbah fi Washfi Hali Ahlil Ghurbah.Maktabah Mahmudiyah. Mesir. Tanpa Tahun. Hal 11, 12 Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 25
[39] Ali bin Muhammad bin Hazm. Al Fishol Fil Milal Wal Ahwa' Wannihal.. Maktabah Muhammad Ali Sabih. Cairo 1348 H Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 26
[40] Abu Muzaffar Al Isfirayiinii. Attabshir Fiddin. Hal 176 Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 26
[41] Tajul Arus Jilid 8 Hal 405 Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 119
[42] Awa'ilul Maqolat. Al Mufid hal 39. Tajul Arus Jilid 8 Hal 405 Dinukil dari Nasir Al Qifari. Mas'alatuttaqrib Baina Ahlissunnah wa Syi'ah. Dar Toibah. Riyadh 1997. Jilid 1. Hal. 121
[43] Asysyafi'i. Muhammad bin Idris. Al Umm. Darul Kutub Al Ilmiyyah, . Tanpa Tahun, Dari CD Maktabatul Fiqh, Jilid 5, Hal. 10
[44] Assamarqondi. Abu Laits. Al Muhazzab.. Beirut. Dar Ihya' Turats Al Arabi . Tanpa Tahun. jilid 2 hal 54. Dari CD Maktabatul Fiqh
[45] Ibnu Dhawayyan. Manarussabil. Al Maktab Al Islami. Dari CD Maktabatul Fiqh, Tanpa Tahun.
[46] AnNisa'. 4 : 25
[47] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal. 121
[48] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 1 hal 588
[49] Al Mu'minun. 23 : 5, 6
[50] Departemen Agama RI, Op. Cit. Hal 526
[51] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 3 hal 294
[52] AnNur. 24 : 33
[53] Departemen Agama RI, Op. Cit. Hal 549
[54] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. Jilid 1 hal 588
[55] Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Jilid 9 .Hal 166 Kitab Nikah. Bab Naha Rasulullah An Nikahil Mut'ati Akhiiron.. Darul Ma'rifah Beirut. Tanpa Tahun . 9 : 166 hadits No. 5115
[56] AnNawawi. Muhyiddin.. Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Jilid 9 Hal 184 . Kitab Nikah Bab Nikahul Mut'ah, wa bayan annahu ubiihaTsumma Nusikh Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha Da rul Ma’rifah. Beirut Tanpa Tahun : 9 : 187. Hadits no. 3404
[57] AnNawawi. Muhyiddin.. Op. Cit. Jilid 9 : 187. Hadits no. 3404
[58] AnNawawi. Muhyiddin.. Ibid Jilid 9 hal 184
[59] AnNawawi. Muhyiddin.. Ibid... Kitab Nikah Bab Nikahul Mut'ah, wa bayan annahu ubiiha y Tsumma Nusikh Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha Da rul Ma’rifah. Beirut Tanpa Tahun : 9 : 186. Hadits no. 3402
[60] AnNawawi. Muhyiddin.. Op. Cit Jilid 9 hal 183
[61] AnNawawi. Muhyiddin.. Loc. Cit.
[62] Assamarqondi. Abu Laits. Al Muhazzab.. Beirut. Dar Ihya' Turats Al Arabi. Tanpa Tahun . Dari CD Maktabatul Fiqh Jilid 2 hal 54
[63] Al Sarkhasi, Syamsuddin.. Al Mabsut. Beirut. Darul Kutub Al Ilmiyyah. 1993 . jilid 5. hal. 153 Dari CD Maktabatul Fiqh
[64] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Al Kafi.. www.islam4u.com Tanpa Tahun. Jilid 5 hal. 448
[65] Syiah memahami ayat ini bukan dalam kontek istri, jika ayat ini difahami dengan kontek istri tentu tidak dapat dijadikan dalil bagi diperbolehkannya nikah mut'ah
[66] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit. Riwayat. No2
[67] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Op. Cit. Jilid 5 hal. 448 . Riwayat. No. 3
[68] [68] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit. Riwayat. No. 4
[69] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Op. Cit . Jilid 5 hal. 451 .
[70] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Op. Cit. Jilid. 5 Hal. 452
[71] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Op. Cit. Jilid. 5 Hal. 455
[72] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 457
[73] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 458
[74] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 460
[75] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit
[76] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit
[77] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 452
[78] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid t. Jilid. 5 Hal. 462
[79] Al Sistani. Ali. Minhajusholihin. www.al-shia.com. Tanpa Tahun Jilid 3 hal 82
[80] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Loc. Cit
[81] Al Sistani. Ali. Op. Cit. Jilid 3 hal. 8
[82] Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih.. Man La yahdhuruhul faqih. www.al-shia.com Tanpa Tahun. Jilid 3. Hal 464
[83] Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih..Loc. Cit
[84] Al Sistani. Ali. Op. Cit. Hal. 80
[85] Al Sistani. Ali. Loc. Cit.
[86] AnNisaa' 4 : 24
[87] Departemen Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahanya, Tanpa Tahun, Cetakan Saudi Arabia. Hal. 120
[88] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'kub. Op. Cit. Jilid 5 hal. 452
[89] AnNIsaa'. 4 : 12
[90] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 118
[91] Al Sistani. Ali.Loc. Cit.
[92] Al Baqarah. 2 : 231
[93] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 56
[94] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'kub. Op. Cit. Jilid 5 hal 458
[95] Al Baqarah. 2 : 230
[96] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 56
[97] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'kub. Op. Cit. Jilid 5 hal 460
[98] Al A'raf 7 : 189
[99] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 253
[100] ArRum. 30 : 21
[101] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 644
[102] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid . Jilid. 5 Hal. 460
[103] AnNisa' 4 : 3
[104] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 115
[105] AnNisa' 4 : 25
[106] Departemen Agama RI, Op.Cit. Hal 121
[107] Al Kulaini. Muhammad bin Ya'qub. Ibid t. Jilid. 5 Hal. 462
[108] AnNur. 24 : 3
[109] Departemen Agama RI, Op.Cit Hal. 543
[110] Al Sistani. Ali. Minhajusholihin. www.al-shia.com. Tanpa Tahun Jilid 3 hal 82
[111] AnNIsa' 4 : 24
[112] Departemen Agama RI, Op.Cit Hal. 121
[113] AnNisa' 4 : 22- 25
[115] Departemen Agama RI. Op. Cit. hal 120 - 121.
[116] Ibnu Katsir. Tafsir Al Qur'an Al Adzim. 1992. Darul Fikr. Beirut. jilid 1 hal 586.
[117] Al Jashosh. Ahkamul Qur'an jilid 2 hal 146 Dinukil dari Muhammadi. Yusuf Jabir. Tanpa Tahun. Tahrimul Mut'ah Fil Kitabi Wassunnah. London : Muassasah Shalahuddin Al Khairiyyah
[118] Syinqithi. Adhwa'l Bayan jilid 1 hal. 384 Dinukil dari Muhammadi. Yusuf Jabir. Tanpa Tahun. Tahrimul Mut'ah Fil Kitabi Wassunnah. London : Muassasah Shalahuddin Al Khairiyyah
[119] Biharul Anwar. Majlisi. Jilid 100 Hal 318 . Dinukil Dari Muhammad. Malullah AsSyi'ah Wal Mut'ah www.fnoor.com. Tanpa Tahun
[120] Muhammad Malullah. Loc. Cit.
[121]http://www.islamonline.net/Arabic/news/2001-12/10/Article07.shtm
Subscribe to:
Posts (Atom)